Entri Populer

Minggu, 22 Januari 2012

analisis pemilu Amerika Serikat dalam hal platform dan sistem pemilihan


review






analisis pemilu Amerika Serikat dalam hal platform dan sistem pemilihan








Oleh
Arif frastiawan 090910101013
Rezel Nurullah 090910101029
Maya Arina 1009101010
Nadia 1009101010
















PEMBAHASAN
1.1 Tahapan Pemilu.
      Sistem pemilu di Amerika Serikat memiliki urgensi untuk merekrut lembaga kepresidenan. Lembaga ini merupakan salah satu bagian dalah decision making process selain legislatif, birokrasi, dan lembaga pertahanan atau Pentagon. Persiapan pemilu di Amerika Serikat dilakukan dua tahun sebelumnya. Jadi jika pemilihan umum dilakukan tahun 2008 maka persiapan dilakukan tahun 2006.
      Dalam pemilu tersebut dilakukan beberapa tahap yang pertama adalah kaukus . Kaukus adalah pertemuan di daerah pemilihan dengan diisi debat mengenai platform dan isu kampanye masing-masing partai. kaukus dilaksanakan oleh kelompok sipil, misalnya kelompok media, organisasi nonpemerintah, dan sebagainya terkait federasi dan non federasi. Hanya 12 negara bagian yang menggunakan model kaukus, yakni Iowa, New Mexico, North Dakota, Maine, Nevada, Hawaii, Minnesota, Kansas, Alaska, Wyoming, Colorado dan District of Columbia.
      Tahap selanjutnya adalah primary election merupakan sebuah sistem pemilihan yang digunakan untuk Primary Election merupakan sebuah sistem pemilihan yang digunakan  untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya super delegates yang  notabene memiliki hak pilih  pada konvensi nasional partai.  Super Delegates  merupakan elite partai di tiap negara bagian yang merupakan representasi dari seluruh konstituen partai ditiap negara bagian. Anggota Super Delegates akan mewakili suara dari konstituen negara bagian dalam konvensi nasional partai yang diraih melalui mekanisme Primary Election. Jumlah Super Delegates itu sebanding dengan jumlah angota senat dan kongres ditiap negara bagian.
      Primary election pertama kali dilakukan di negara bagian florida, primary election terbagi atas beberapa bentuk seperti early election di negara bagian new hampsire dan major election terbagi atas open election, close election dan blanket election dan disesuaikan terhadap kebijakan negara bagian tersebut
      Tahap selanjutya adalah Party convention, tahap ini merupakan tahap terakhir dalam proses pengajuan kandidat sebagai presiden dari kedua partai terbesar yaitu partai Republik dan demokrat. Dalam tahap ini platform kembali diajukanoleh masing-masing kandidat agar menarik super delegates dari kedua partai tersebut agar memilih dirinya sebagai kandidat presiden dari partai tersebut.

1.2. Kelompok kepentingan.
      peran dari kelompok kepentingan sangat berperan besar dalam pemilu  karena kelompok kepentingan memiliki .banyak kepentingan seperti pembentuk platform dan melakukan sosialisasi, kemudian menempatkan orang dalam pemerintahan agar platform terjamin dan juga kelompok kepentingan ini juga ingin ikut merubah kebijakan dan kelompok kepentingan akan melakukan social movement jika platformnya tidak berjalan. Kelompok kepentingan juga memberikan bantuan secara finansial dalam hal dana kampanye.

1.2 electoral college
      Jika ada yang khas dalam pemilu presiden AS, salah satunya yang disebut ”electoral college”. Seperti tertuang dalam Konstitusi AS, presiden AS tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi melalui sekelompok warga negara yang disebut ”electoral college”.Meskipun dilangsungkan di seluruh negeri, pemilu AS bukan pemilu nasional, tetapi lebih serangkaian pemilu di level negara bagian yang memutuskan anggota electoral college. Suara mereka disebut electoral votes, yang dibedakan dari suara pemilih (popular votes). Secara teknis, bisa dibilang pemilih tidak memilih kandidat presiden, tetapi memilih sekelompok orang yang akan memilih kandidat presiden dan wakil presiden saat mereka bertemu. Biasanya, mereka akan bertemu pada Senin pertama setelah Rabu kedua di bulan Desember.  
      Electoral college terdiri atas 538 orang dari 50 negara bagian yang komposisinya sesuai jumlah perwakilan negara bagian di Kongres AS (435 anggota DPR AS/House of Representatives dan 100 anggota Senat). Washington DC, daerah ibu kota, yang tidak memiliki perwakilan di Kongres AS, diberi 3 electoral votes, jumlah minimal yang dimiliki negara bagian terkecil.Cara pemilihan anggota electoral college bermacam-macam di setiap negara bagian. Biasanya mereka dipilih melalui konvensi partai politik atau pemungutan suara di komite pusat partai.
      Untuk bisa menjadi presiden, seorang kandidat harus mendapat minimal 270 electoral votes. Jika tidak ada kandidat yang meraih electoral votes minimal, DPR AS akan menentukan siapa yang menjadi presiden sesuai dengan Amandemen Konstitusi AS ke-12. Setiap negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska, memberikan electoral votes dengan sistem pemenang mengambil semua (winner takes all). Artinya, kandidat yang memenangi suara pemilih (popular votes) di negara bagian akan mengambil seluruh electoral votes yang dimiliki negara bagian itu.
      Di Maine dan Nebraska, electoral votes didistribusikan sesuai metode distrik kongres. Pemenang di setiap distrik akan mendapatkan satu electoral votes dan pemenang di seluruh negara bagian akan mendapat tambahan dua electoral votes. Anggota electoral college bebas memilih kandidat mana pun, tetapi biasanya mereka telah berjanji untuk memilih kandidat tertentu. Mereka disarankan untuk memilih sesuai hasil pemilu di negara bagiannya.

1.4 Syarat menjadi presiden Amerika Serikat
      Tidak seorang pun, selain dari pada warga negara asli, atau warga negara Amerika Serikat pada waktunya berlakunya Konstitusi ini, dapat memangku jabatan presiden; dan tidak seorangpun yang dapat memangku jabatan tersebut, kecuali kalau dia telah mencapai umur 35 tahun dan telah berdiam di Amerika Serikat selama 14 tahun.






Analisis

      Jika kita lihat secara seksama mekanisme pemilu di Amerika Serikat memiliki perbedaan dengan Indonesia meskipun kedua negara ini sama-sama menggunakan sistem presidensial. Jika di Amerika Serikat pemilih prinsip one ma one vote hanya berlaku untuk pemilihan DPR dan senate dan tidak pada pemilihan Presiden, pada pemilihan presiden yang melakukan pemilihan adalah electoral college. Dalam pemilu di Amerika Serikat ketika seorang kandidat presiden memenangkan daerah electoral maka semua negara bagian tersebut di ambil oleh kandidat presiden tersebut karena menganut prinsip Winner takes All dan sistem yang digunakan dalam adalah sistem distrik. Dalam sistem kepartaian amerika serikat mengguakan sistem dwi partai sehinggan dengan mudah menentukan mayoritas dalam hal suara dan memudah ka dalam hal pengambilan kebijakan.
      Jika di Indonesia sistem one man one vote berlaku dalam seluruh pemilihan baik legislatif dan eksekutif, jika seorang kandidat itu memenangkan suara di suatu daerah suara kandidat lain tidak hangus tetapi di akumulasikan dengan suara dari daerah yang lain karena menggunakan sistem proporsional dan sistem kepartaian di Indonesia menggunakan multipartai dan susah mencari suara mayoritas sehingga harus berkoalisi untuk mencapai suara mayoritas dan mengakibatkan banyak orang yang dilibatkan dan tidak menutup kemungkinan mengalami tarik menarik kepentingan yang cukup banyak sehingga susah membuat kebijakan dan jika berhasil kebijakan sangat politis.
      Dalam hal penyusunan platform ataudalam bahasa sederhana disebut dengan kontrak politik juga banyak berbeda, jika di Amerika Serikat Platform oleh kandidat digunakan dalam sebagai pedoman dalam menyusun program kerja seperti isu-isu tentang terorisme, demokratisasi, pajak dan sosial welfare sehingga arah kebijakannya jelas. Dana kampanye yag diperoleh dari berbagai sumbangan digunakan sebagaimana mestinya dengan sumber yang jelas dan diatur secara ketat agar tidak terjadi penyelewengan dan digunakan oleh kelompok kepentingan utuk menyampaikan keinginannya jika dirasa platform tidak berjalan maka kelompok kepentingan bisa melakukan social movement dan sangat efektif karena kandidat meiliki tanggung jawab moral seperti asuransi kesehatan bagi semua warga
      Indonesia platform di Indonesia digunakan seseorang sebagai hal atau cara untuk menjabat sebuah jabatan dan kemungkinan untuk tidak dijalankan sangat besar. Dana kampanye hanya digunakan sebgai jalan menuju kekuasaan dan tidak jelas arah dan tujuannya, ketika masyarakat melakukan social movement tidak efektif karena kandidat tidak mengetahui platform yag dia jalankan karena kandidat platform disusun dan berhenti di tim sukses.
      Meskipun demokrasi di Indonesia dianggap lebih demokratis dari Amerika Serikat karena sistem one man one vote dilakukan kepada seluruh pemilihan baik presiden maupun legislative namun dengan presidensial dengan sistem proporsional yang multipartai yang diterapkan di Indonesia sehingga kebijakan yang diambil kurang efektif sering kali politis karena harus melibatkan banyak kepala dan tidak efektif berbeda dengan  presidensial sistem distrik dan dwipartai di Amerika Serikat yang meskipun dianggap “tidak demokratis” namu kebijakan yang diambil lebih bisa efektif dan langsung menyentuh lapisan paling bawah sekalipun.





Kesimpulan


      Sebuah sistem dalam hakikatnya memiliki dua sisi baik itu positif dan negatif. Begitu juga sistem demokrasi ala Amerika Serikat dan Demokrasi ala Indonesia. ketika dalam penerapan sistem tersebut pun terkadang ada yang cocok dengan suatu negara dan ada pula yang tidak cocok. Sehingga setaip negara harus memilih sebuah sistem yang cocok denga budaya atau cultur dari bangsa tersebut.
      Demokrasi ala Amerika Serikat mugkin saja jawaban atas sistem negara federal yang mereka anut dan diatur dalam konstitusi mereka, sistem kaukus, primary election, party convention dan juga penerapan dari electoral college merupakan jawaban dari representasi bnyaknya rakyat di tiap negara bagian di Amerika Serikat dan mungkin menurut mereka itulah yang cocok.
      Dalam demokrasi ala Indonesia sistem perimbangan merupakan sistem yang cocok karena merupakan jawaban atas bentuk negara kesatuan yng di anut di Indonesia. sistem pemilu proporsional dari dapil-dapil di Indonesia merupakan solusi dari representasi waraga negara Indonesia di tiap propinsi. Konsep one man one vote yang merupakan konsep suara dalam demokratis yang digunakan dalam demokrasi Indonesia dan merupakan sebuah hal yang diinginkan oleh rakyat Indonesia.
      

Efektifitas Penerapan Perjanjian Strategic Arms Limitation Treaty (SALT ) dalam Usaha Arms Control dan Dissarmament oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet Era Perang Dingin

Hitam Putih
Efektifitas Penerapan Perjanjian Strategic Arms Limitation Treaty (SALT ) dalam Usaha Arms Control dan Dissarmament oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet Era Perang Dingin

Papper
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Keamanan dan Strategi
Oleh :
      Rizki Amallina                              090910101006
      Aprilia Santi                                  090910101007
      Arif Frastiawan S                          090910101013
      Rezel Nurullah                              090910101029
      Pepie Rindang N S                      090910101056

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2011
BAB I
 PENDAHULUAN
1.1.            Latar belakang
Perang dingin merupakan salah satu produk yang dihasilkan pasca Perang Dunia kedua dan menghasilkan dua kekuatan utama dunia yaitu Amerika serikat dan Uni Soviet. Dalam perkembangannya intervensi kedua negara ini menentukan bentuk dari kondisi perpolitikan dunia internasional. Dua negara yang merupakan kekuatan utama ini membentuk sebuah kondisi perpolitikan yang memisahkan dunia menjadi dua kubu yaitu negara Amerika Serikat dengan ideologi liberalisme dan di sisi lainnya negara Uni soviet dengan ideologi komunisme. Terpecahnya Jerman, Korea, Vietnam adalah salah satu akibat dari hal yang dinamakan Perang Dingin.
Persaingan kedua kubu kekuatan uatama dunia selain dalam hal persiangan ideologi juga melakukan persaingan dalam hal persenjataan, termasuk senjata pemusnah masal atau nuklir yang telah berhasil dikembangkan oleh kedua negara tersebut. Senjata nuklir ini di bentuk dalam berbentuk rudal balistik baik jarak dekat, menengah bahkan antar benua. dan tentu saja jika terjadi pecah perang antar kedua negara ini maka dapat dipastikan akan terjadi penghancuran masal di dunia karena efek dahsyat dari bom atom berintikan Nuklir.[1]
Ditengah kondisi dunia seperti maka munculah ide untuk melakukan arm control and disarmament atau pengurangan senjata dan perlucutan senjata yaitu usaha untuk melakukan pengurangan terhadap peningkatan senjata antar kedua negara superpower agar tidak terjadi ancaman serius terhadap kondisi dunia. Dalam hubugan kedua negara tersebut pernah terjadi pengaplikasian konsep tersebut dalam sebuah pembicaraan serius yang dikenal dengan istilah Strategic Arms Limitation Treaty (SALT). SALT mengalami dua kali perjanjian yaitu SALT I dan SALT II di dalam pembicaraan disepakati tentang pengurangan senjata balistik jarak menengah dah antar benua antar Amerika Serikat dan Uni Soviet. namun dalam perjalanannya, perjajian ini mengalami banyak pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak[2].

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis menemukan hal-hal yang dapat diangkat sebagai hal yang perlu dibahas lebih lanjut yang telah dirumuskan kedalam sebuah kalimat rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah penerapan Perjanjian SALT terhadap Arms Control dan Dissarmament antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin

1.3 Kerangka Teori
Dalam menganalisis permasalahan dalam tulisan ini penulis menggunakan konsep Arm Control. Dalam kondisi Arm Race yang telah mencapai titik klimaks yang terjadi antara dua negara super power yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet di era perang dingin. Negara tersebut kemudian memilih konsep Arm Control sebagai upaya dalam mengendalikan penggunaan dan produksi maupun pengadaan persenjataan. Hal ini dilakukan oleh negara agar terjadinya stabilitas politik dan militer dalam sistem internasional yang anarki yang mana situasi ini sangat mengkhawatirkan banyak pihak dalam sistem internasional ini. Penerapan konsep Arms Control ini merupakan langkah sebuah negara yang lebih bersifat diplomatis yang mana lebih mengarah kepada konsep perdamaian.[3].
Konsep Arm Control yang dilakukan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat karena menyadari dalam kondisi yang semakin meluasnya pengembangan persenjataan nuklir antara kedua negara justru juga turut membuat ancaman kepada kedua negara semakin besarbahkan bisa membahayakan dunia internasional. Sehigga Uni Soviet menerpakan konsep  pengendalian terhadap produksi dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir dan direalisasikan pertama kalinya yakni Strategic Arms Limitation Treaty (SALT) yang direkomendasikan kepada Amerika Serikat sebagai negara superpower lainnya.




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Strategic Arms Limitation Treaty (SALT)
Dengan berakhirnya Perang Dunia II yang bersamaan dengan kemenangan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara super power baru, menjadi awal dari perubahan konstalasi perpolitikan internasional. Menjadikan dunia Internasioanal bergelut dalam gejolak perang dingin. Berakhirnya perang dunia ke dua bukan berarti berakhir pula konflik dalam arena Internasional. Masih ada konflik hanya saja bukan konflik dalam bentuk genjatan senjata. Yang mereka namakan denagan perang dingin.  Perang dingin merupakan suatu kondisi dimana yang terjadi bukan perang tembakan senjata tetapi sebuah ketegangan yang terjadi karena adanya pembagian blok yang kedua – duanya sama – sama ingin menjadi dominan di dunia ini. Blok yang bersitegang adalah blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Masing – masing blok memiliki kepentingan yaitu penyebaran ideologi karena inginnya mereka mendominasi dunia Internasional. Ideologi yang ingin mereka sebarkan dan dijadikan persaingan yaitu ideologi Demokrasi Liberal yang dipegang oleh Amerika Serikat  dengan Sosialis Komunis yang dimiliki oleh Uni Soviet yang juga disertai dengan perkembangan teknologi persenjataan nuklir. Amerika Serikat ingin ideologi demokrasinya mendominasi dalam kehidupan Internasional sedangkan Uni Soviet sendiri ingin paham otoriternya pun menjadi dominan dalam kancah Internasional.
Dengan berbagai cara mereka mencoba untuk mendominasi dan menyebarkan paham atau ideologi yang mereka miliki ke berbagai belahan dunia. Karena kondisi persaingan yang semakin memanas antara dua kubu tersebut menjadikan kedua blok Negara super power itu mulai meningkatkan kekuatan nasionalnya masing – masing. Mulai dari membentuk aliansi-aliansi baru bersama sekutu-sekutunya sampai mengembangkan teknlogi senjata nuklir. Peningkatan kekuatan nasional itu dianggap sebagai ancaman bagi Negara yang menjadi lawannya tersebut. Hal ini dirasakan jelas oleh  Uni Soviet selama terjadinya Perang Dingin. Pengembangan kekuatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terutama dalam pengembangan senjata nuklir dan rudal-rudal jarak menengah (SLBM) hingga rudal-rudal antara benua atau ICBM (Inter Continental Ballistic Missile) yang mana pengembangan persenjataan itu merupakan persenjataan utama dalam rangka mendukung strategi keamanan Amerika Serikat yang ditambah dengan pengembangan kemampuan pesawat-pesawat pem bom yang membawa bom-bom nuklir untuk dijatuhkan ke wilayah sasaran tertentu.. Tindakan agresif Amerika Serikat ini dinilai sebagai sebuah ancaman bagi Uni Soviet.
Pengembangan kekuatan nasional dalam rangka terciptanya balance of power merupakan salah satu hal yang mau tidak mau harus di lakukan oleh Uni Soviet apalagi dalam persaingan dalam mencapai kepentingan nasional yang dalam hal ini adalah penyebaran ideologi masing-masing. Uni soviet pun harus mengambil tindakan serupa untuk merespon ancaman yang diluncurkan Amerika Serikat. Uni Soviet meresponnya dengan strategi yang selalu ingin ditempuh adalah bagaimana mengamankan wilayah sekitar perbatasan dengan membentuk daerah penyangga mengingat Uni Soviet sendiri merupakan bangsa yang selalu terancam.
Strategi yang ditempuh Uni Soviet adalah dengan menguasai Eropa Timur untuk melindungi wilayah Uni Soviet dari saingan utamanya. Tidak hanya itu upaya yang dilakukan Uni Soviet untuk mengimbangi kekuatan dan merespon ancaman dari tindakan agresif Amerika Serikat. Tindakan nyata yang dilakukan Uni Soviet dalam rangka menghadapi ancaman itu adalah dengan mengembangkan persenjataan nuklir. Terhitung dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 1960 sampai tahun 1970, Unio Soviet mampu mengembangkan ICBM hingga 1510 buah yang semula hanya mempunyai 4 buah.[4] Tetapi semakin meningkat dan meluasnya pengembangan persenjataan nuklir antara dua Negara super power itu justru akan menjadikan ancaman yang harus dihadapi masing – masing kubu semakin besar. Uni Soviet menyadari akan hal ini. Oleh karenanya Uni Soviet menerapkan sistem terhadap pengendalian terhadap produksi dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir yang dikenal dan dinamakan dengan Arms Control. Realisasi dari konsep pemabatasan persenjataan nuklir yang pertama kali adalah yang disebut dengan SALT (Strategic Arms Limitation Talk) yang pembiacaraannya dimulai pada November 1969.[5]
Perundingan untuk meredakan Perang Dingin dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet melalui Strategic Arms Limitation Talks (SALT), sama-sama mempunyai tujuan untuk menghindari perang nuklir yang membahayakan keselamatanumat manusia. Perundingan SALT secara umum mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memperkecil kemungkinan terjadinya perang nuklir.
2. Apabila perang tidak dapat dihindarkan, diharapkan akibatnya tidak tidak              terlalu menghancurkan.
3. Menghemat biaya pertahanan.
4. Mencegah terjadinya perlombaan senjata strategis

2.2              Penerapan Strategic Arms Limitation Treaty.

SALT I tercetus oleh kesediaan kementrian Luar Negeri Uni Soviet dalam mendiskusikan senjata strategis keterbatasan dengan pihak Amerika. Amerika Serikat dan Uni Soviet bernegosiasi mengenai perjanjian pertama untuk menempatkan batas dan hambatan pada beberapa pusat persenjataan mereka (Negara) yang dianggap paling penting.  Perjanjian SALT I ini ditandatangani oleh Ricard Nixon (Presiden Amerika Serikat) dan Leonid Breshnev (Sekjen Partai Komunis Uni Soviet) pada tanggal 26 Mei 1972.[6] Pertemuan kedua perwakilan negara adidaya tersebut menyepakati bahwa:
a. Pembatasan terhadap sistem pertahanan anti peluru kendali (Anti-Ballistic Missile=ABM).
b.     Pembatasan Senjata-senjata ofensif strategis, seperti Inter-Continental Ballistic Missile (ICBM= Peluru Kendali Balistik Antarbenua) dan Sea-Launched Ballistic Missile (SLBM= Peluru Kendali Balistik yang dikendalikan dari laut atau kapal).
SALT I memberikan kesepakatan untuk membatasi jumlah misil nuklir yang dimiliki oleh kedua belah pihak Negara. Uni Soviet hanya mempunyai izin untuk memiliki misil maksimal 1600 misil, sedangkan AS hanya diijinkan memiliki 1054 misil.
Dengan berjalannya perjanjian SALT I ini, Uni Soviet merasa dirinya menjadi tidak kuat lagi menjalankan kesepakatan tersebut. Hal ini menyebabkan Soviet mengerahkan pasukannya pada Afganistan yang bertujuan untuk membantu rakyat Afganistan tersebut. Namun upaya yang dilakukan ini mendapatkan reaksi dari pihak Amerika Serikat. Presiden AS (Jimmy Carter) memberikan pernyataan bahwa agresi Uni Soviet di Afghanistan tersebut mengkonfrontasi dunia dengan tantangan strategis paling serius sejak Perang Dingin dimulai. Dengan keadaan ini AS berkeininan untuk menggunakan kekuatan militernya di Teluk Persia. Selain itu AS juga mendukung adanya pemberontakan anti-komunis di Afghanistan. AS juga memberikan ancaman tentang kemampuan nuklirnya dan ancaman serangannya.
Di tengah – tengah memanasnya ketegangan antara Uni Soviet dengan Amerika dan tidak pernah berkomitmen dengan perjanjian yang mereka buat sendiri, terlebih AS yang hingga saat ini tetap bersikeras untuk menerapkan proyek pertahanan anti rudal balisti dengan alasan untuk menandingi kemampuan rudal Rusia, mereka melakukan perjanjian SALT II (15 Juni 1979) di Vienna. Perjanjian ini  membatasi produksi dan penyimpanan senjata nuklir. Kedua belah pihak setuju untuk membatasi kepemilikan peluncuran senjata nuklir maksimal 2400 unit, dan maksimal 1320 unit Multiple Independently Targeted Reentry Vehicle (MIRV).[7]
Namun dalam SALT II ini tidak mendapatkan suatu upaya baik dari kedua belah pihak. Uni Soviet memiliki keunggulan dibandingkan Amerika Serikat. Soviet memiliki tingkat persenjataan dan kemiliteran yang lebih baik dibanding AS. Akan tetapi melihat kemampuan Soviet itu, AS tidak diam saja. Meskipun ada perjanjian SALT II ini, AS tetap mendorong aksinya dalam meruntuhkan paham komunis dan menyebabkan Soviet menjadi terpecah menjadi beberapa Negara. Hal ini menyebabkan Soviet menjadi kalah dalam perang dingin dan menyatakan bahwa Amerika yang telah memenangkannya.

2.3  Kelemahan Strategic Arms Limitation Treaty (SALT)

Munculnya ide arms control dan disarmament merupakan isu berskala internasional guna mengkontrol adanya arms race. Istilah disarmament merupakan istilah untuk pemusnahan persenjataan strategis sedangkan arms control lebih kepada pengurangan persenjataan.[8]
Hambatan dalam proses Arms Control and Disarmament terdiri dari 8 faktor, Faktor-faktor tersebut antara lain (Holsti 1987: 447-455)[9]:
1)                  Senjata dapat digunakan untuk menciptakan bargaining-power tetapi juga turut menyebabkan ketegangan internasional, sehingga ia dapat mengurangi kemungkinan bagi penyelesaian isu-isu politik yang belum terselesaikan.
2)                  Adanya overestimated terhadap kapasitas dan kapabilitas militer negara lain. Para pembuat kebijakan cenderung merasa bahwa program persenjataan mereka kembangkan dengan maksud defensif, tapi menganggap bahwa persenjataan lawan dimaksudkan untuk tujuan agresif.
3)                  Adanya dorongan dan akses yang mudah untuk memperoleh persenjataan serta kemajuan teknologi telah membuat senjata semakin up-date dengan aplikasi baru.
4)                  Kekhawatiran adanya serangan secara tiba-tiba dan penyebaran senjata nuklir sebagai tujuan utama untuk mempertahankan stabilitas wilayah.
5)                  Kekhawatiran akan perkembangan teknologi yang dilakukan oleh pihak lawan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas militer yang semakin kuat, terlebih dengan meningkatnya penyebaran nuklir, maka negosiasi dan perundingan arms control akan semakin sulit pula.
6)                  Adanya pertentangan mengenai masalah verifikasi. Karena perkembangan senjata yang semakin canggih dan semakin bertambahnya kemampuan pihak lain untuk mengubah keseimbangan militer yang ada dalam waktu singkat, maka kebutuhan untuk diadakan verifikasi seharusnya semakin meningkat pula, namun hal ini agaknya sulit untuk dilakukan
7)                  Masalah pencarian formula-rasio yang menguntungkan masing-masing pihak. Suatu formula pengurangan satu jenis senjata yang benar-benar bersifat kuantitatif bahkan mathematical-equity sekalipun mungkin akan menciptakan kontroversi.
8)                  perlombaan senjata dan adanya berbagai resiko yang ditimbulkan oleh arms control.
Kelemahan- kelemahan lain juga terlihat dalam perjanjian SALT I ataupun SALT II. Pengendalian senjata antara AS dengan Soviet dibicarakan dalam Strategic Arms Limitation Treaty (SALT). Tahun 1972, dihasilkan SALT I, yang berisi kesepakatan untuk membatasi pembangunan dan pembekuan sistem ABM dan menetapkan berbagai peringkat kekuatan senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara adidaya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi  tidak terjadi perang antara kedua negara tersebut. Pada 1979, pertemuan puncak di Wina antara Carter dengan Breznev menghasilkan kesepakatan yang disebut SALT II. Intervensi Soviet di Afganistan telah menyebabkan proses ratifikasi tertunda Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter menyatakan bahwa serbuan Uni Soviet adalah ancaman paling serius sejak Perang Dunia II, Carter nantinya mengembargo pengiriman bahan keperluan seperti butir padi dan teknologi tinggi untuk Uni Soviet dari Amerika Serikat.[10]
Dalam perjanjian SALT II menuai kecaman karena tiga alasan, yaitu perjanjian tersebut tidak mengikutsertakan kapabilitas nuklir negara-negara ketiga lainnya, seperti RRC; kurang memperhatikan persoalan hulu ledak nuklir yang merupakan masalah inti dari pengendalian senjata; dan terakhir adalahperjanjian tersebut gagal memisahkan kuantitas IRBM (rudal balistik jarak menengah) di Eropa Tengah yang makin meningkat[11]. Sehingga menyebabkan negara-negara yang memilki patron kepada negara tersebut digunakan sebagai ajang oleh negara patronnya untuk menggelar uji coba nuklir seperti halnya china.[12]
Masalah lain yang muncul adalah seperti belum dibahasnya juga mengenai pengadaan senjata nuklir jarak menengah seperti juga pesawat-pesawat pembom yang membawa nuklir-nuklir landas udara. Hal ini pula yang dikhawatirkan membawa dampak terhadap pengembangan persenjataan nuklir yang tidak dibatasi dalam SALT 1 tersebut. seperti contohnya yang dilakukan Amerika Serikat dengan mengembangkan MIRv’s (Multiple Independently Re-entry Vehicle) yaitu rudal nuklir landas darat (ICBM) yang dilengkapi sepuluh kepala nuklir pada setiap rudalnya. Sehingga walaupun ICBM nya dibatasi namun apabila satu rudal dapat dikembangkan jumlah kepala nuklirnya maka pembatasan tersebut dapat dibilang sia-sia[13].



BAB III
KESIMPULAN
Konsep Arms Control and Disarmament merupakan hal yang cukup positif dalam proses perdamaian dunia terutama pada saat itu dimana terjadi kekuatan Bipolar antara Uni soviet dan Amerika Serikat dimana  negara-negara tersebut memiliki kekuatan militer dengan persenjataan yang cukup besar dan cukup untuk kembali membuat dunia masuk kedalam perang besar seperti halnya Perang Dunia pertama dan Perang Dunia kedua yang cukup memakan banyak korban dan mengahncurkan perekonomian.
Disisi yang lain Konsep Arms Control and Disarmament akan menjadi sebuah hal yang tidak mugkin untuk dilakukan bahkan sia-sia jika tidak ada niat dari negara-negara yang memiliki kekuatan major power untuk melakukannya. Ini terlihat dari apa yag terjadi dalam Perjajian SALT I dan Perjanjian SALT II yang harus tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena negara-negara major power seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet melakukan pelanggaran dalam perjanjian tersebut baik dengan melakukan Invasi ke Afganistan.
Kegagalan perjanjian SALT I dan SALT II merupakan sebuah hal yang setidaknya harus dijadikan pelajaran oleh semua pihak dalam dunia interasional bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap sebuah perjanjian oleh satu negara saja maka imbasnya akan mengenai negara lain teruatama negara-negara minor power seperti negara-negara dunia ketiga.



[2] Ibid.
[6] Diakses dari http://muyas-orchid.blogspot.com/2009/10/karya-tulis-sejarah.html

[7] Diakses dari http://wulandecassiopeian.blogspot.com/

[9]ibid
[13] ibid

Keuangan Internasional

Hitam Putih


Tugas Review Ekonomi Politik Internasional

Keuangan Internasional



Oleh :
KELOMPOK 13
Arif Frastiawan S                             : 090910101013
Gitra Fajar Arumsari                       : 090910101037
Andika Bayu P                                  : 090910101039


         
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2011






Keuangan Internasional

Keuangan Internasional merupakan instrumen yang digunakan untuk mmbahas arus uang dengan skala yang besar dalam Hubungan Internasional. Terjadi banyak problem-problem yang menyangkut permasalahan keuangan global yang dipengaruhi ekonomi politik sehingga memerlukan perhatian lebih khusus terhadap permasalahan tersebut. Problem-problem yang terjadi menyangkut keuangan internasional sudah terjadi beberapa abad terakhir ini, masalah tersebut timbul dikarenakan terdapat kepentingan-kepentingan dari tiap-tiap negara di dunia sehingga menyebabkan permasalahan yang bersifat global. Pemerintah terus berusaha mencari cara yang efisien untuk mengatur dan menentukan kelancaran dari arus keuangan internasional.
Cara atau sistem yang bersifat efisien dan stabil dalam keuangan internasional harus dapat menyelesaikan 3 permasalahan teknis antara lain sebagai berikut:
·         Likuiditas : sistem keuangan ini memberikan suplai terhadap mata uang yang memadai dan tidak menimbulkan dampak inflasi, membuat penyesuaian,  membuat metode untuk menyelesaikan permasalahan terhadap ketidak seimbangan neraca pembayaran sehingga dapat menjamin likuiditas keuangan
·         Peraturan : Setiap permasalahan harus dapat diselesaikan dengan sistem keuangan internasional yang beroperasi secara efisien dan terintegrasi terhadap perekonomian dunia. Setiap rezim dan system keuangan internasional suatu Negara bergantung pada peraturan dan tatanan politik yang berlaku dalam Negara tersebut. Karena sistem moneter internasional berpengaruh terhadap kepentingan suatu negara dan terdapat timbal balik berupa usaha dari Negara-negara yang mencoba untuk mempengaruhi sistem yang berlaku.
·         Kepercayaan : Dalam hal ini negara harus bertanggung jawab dan dapat dipercaya dalam menciptakan arus keuangan global yang stabil, mengatur laju peredaran mata uang dan menghindarkan dari dampak buruk inflasi.

Uang memiliki nilai dan factor yang sangat penting dalam dunia perpolitikan. Dengan uang suatu Negara dapat memperkuat fasilitas dari kekuatan militernya, untuk aliansi, dan dapat digunakan untuk penyuapan terhadap musuh-musuh Negara. Hal ini dapat secara nyata dilihat pada masa lalu dimana kebangkitan dan keruntuhan tiap-tiap kerajaan pada masa itu didasari oleh politik uang yang terjadi. Tapi pada era yang modern seperti saat ini, uang memiliki beragam kepentingan dalam perkembangan sistem moneter internasional dan kaitannya dengan konstitusi suatu negara yang merupakan sebuah revolusi virtual dalam dunia perpolitika.
Keuangan internasional memiliki pengaruh dalam ekonomi dan politik pada saat era pra modern. Ketersediaan keuangan internasional ditentukan oleh arus perdagangan global, yang relative bebas dari campur tangan pemerintah. Sehingga pemerintah sangat terbatas dalam melakukan manipulasi terhadap keuangan.
Berlanjut hingga awal periode era modern yang dipengaruhi meningkatnya integrasi local, keuangan internasional menyediakan kesempatan untuk kontribusi utama pada ilmu pengetahuan ekonomi dan basis berdirinya paham ekonomi liberal. Dalam teori yang dikemukakan oleh David Humc mengatakan bahwa respon terhadap negara merkantalis yang terobsesi dengan adanya surplus perdagangan dan ketakutanya pada kerugian perdagangan yang disebabkan oleh banyaknya persaingan. Dia menggambarkan bahwa jika suatu negara mendapatkan keuntungan ekspor impor, akan ada konsekuensi bertambahnya persediaan uang yang disebabkan oleh faktor berupa arus uang domestik dan biaya-biaya ekspor barang.
Revolusi financial terjadi selama abad 18 dan 19. Ditandai dengan diresmikannya peredaran uang kertas oleh pemerintah, adanya perbankan, serta badan perkreditan. Revolusi financial ini mampu memecahkan problem utama ekonomi yang berdampak sistemik. Misalnya mampu meredam masalah sejarah persediaan uang hingga diterimanya peredaran uang kertas dan mudahnya perkreditan yang awalnya aktifitas ekonomi berfokus pada tekanan deflasi karena ketidak stabilannya harga emas dan perak. Namun revolusi ini lama kelamaan juga menciptakan sebuah bias inflasi dan menyebabkan ketidakstabilan moneter internasional.
Perkembangan keuangan internasional hingga dekade terakhir tidak lepas dari hegemoni Negara Amerika serta kuatnya pengaruh dolar dalam sirkulasi keuangan internasional. Eksploitasi Amerika sebagai banker dunia telah memberikan dampak antara lain :
·         Merusak sistem Bretton wood
·          Tranformasi PBB dari kreditur menjadi debitur dan
·         Tumbuhnya perekonomian Negara jepang secara pesat
Teori ekonomi dan hubungannya dengan ekonomi dunia telah berlangsung selama dua dekade terakhir ini. Teori-teori ini antara lain Ekonomi keynesian dan teori kebijakan ekonomi. Kedua teori ini dipahami sebagai kontrol terhadap ekonomi dunia dan solusi untuk arus keuangan internasional.
Perkembangan ekonomi yang telah membawa masalah terhadap perekonomian global yang berdampak pada ketidaksignifikannya laju keuangan internasional terjadi pada tahun 60an. Masalah ini dibutuhkan suatu kebijaksanaan yang mampu memberikan solusi masalah tersebut.
Richard Cooper berpendapat bahwa masalah yang paling fundamental menurutnya adalah eksistensi dari meningkatnya intertendensi ekonomi dan meluasnya hubungan ekonomi antar bangsa tanpa adanya pemusatan kontrol politik atas sistem tersebut. Disisi lain kaum liberal berharap mekanisme moneter seharusnya dikerjakan bersama dan menghindari pencitraan ekonomi yang tidak berguna. Mereka berharap dapat meningkatkan perekonomian melalui pasar. Keikutsertaan group dan negara-negara akan selalu mengintervensi perkembangan system ekonomi sehingga menjadi lebih menguntungkan pihak mereka. Harapan ini menjadi modal untuk mewujudkan perekonomian yang terjamin.