Entri Populer

Sabtu, 02 Februari 2013

Pengaruh Sistem Domestik Negara dalam Menghadapi Multi National Corporations (MNC’s) terhadap Perkembangan Ekonomi di Negara Korea Utara dan Venezuela


Essay
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Transnasionalisme

Oleh :
Rizky Amallina                                   090910101006
Arif Frastiawan S                                090910101013
Rezel Nurullah                                    090910101029
M. Zulfiekar H.A.C                            090910101073

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2011
Di era globalisasi seperti sekarang ini, terdapat sebuah aktor non-state yang memiliki pengaruh besar dalam perekonomian dunia. aktor tersebut adalah perusahaan-perusahaan Multinasional atau Multi National Corporations (MNC’s). Menurut S.C. Certo (1997) MNC’s adalah sebuah perusahaan yang memiliki operasi yang signifikan pada lebih dari satu negara dengan kekuatan modal, teknologi dan sistem manajemen yang baik, MNC’s mengontrol aliran modal, teknologi dan bahkan distribusi barang melintasi batas2 negara[1]. Menurut pengertian tersebut keberadaan Cross National Border seolah-olah telah hilang dengan menyebarnya MNC’s di berbagai negara.
MNC’s sebagai salah satu aktor baru dalam dunia Internasional, hampir tidak ada negara di dunia ini yang dapat menolak kehadirannya. Bahkan terdapat istilah Race To The Bottom yang artinya negara-negara saling bersaing dengan cara memberikan “harga murah” pada negaranya untuk memudahkan MNC’s agar tertarik dan masuk ke negaranya dan menanamkan investasi. Sisi baik dengan adanya MNC’s adalah memberi kontribusi terhadap perekonomian negara, melalui pembukaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan serta di sektor jasa. Contohnya Chevron, Exxon, Freeport, dan lain-lain. Namun terdapat pula sisi negatif yaitu terjadinya eksploitasi buruh dan kerusakan sumber daya alam yang ditimbulkan. Berhasil atau tidaknya sebuah MNC’s terhadap suatu negara, dipengaruhi oleh struktur domestik negara tersebut. Struktur domestik negara tersebut menunjukkan bagaimana sifat negara tersebut dalam menerima kehadiran MNC’s. Negara bersifat tertutup ataupun juga bersifat sangat terbuka terhadap MNC’s.
Salah satu negara yang tertutup terhadap kehadiran MNC’s di dunia ini adalah Korea Utara. Korea Utara menganut ideology Juche. Juche juga dipakai dalam berbagai aspek kehidupan negara seperti urusan diplomatik, ekonomi, dan sosial. Juche adalah teori yang mengadilkan sistem penguasaan tunggal di bawah Kim Il sung hingga Juche bisa dikatakan sebagai pemujaan personal untuk Kim Il-sung sebagai ideologi yang didukung oleh konstitusi[2]. Kekuasaan tertinggi diserahkan secara penuh kepada pemimpin negara atau di Korea Utara adalah presiden Kim Il Sung.
Juche dirancang sebagai ideologi yang ditujukan untuk menghadang pengaruh dari luar yang mungkin akan menggoyahkan kekuasaan penuh Kim Il Sung. Juche merupakan ideologi yang mencakup semua aspek kehidupan bernegara di Korea Utara, termasuk bidang ekonomi. Semua kebijakan ekonomi diatur dan berada di tangan satu orang yaitu pemimpin negara. Kebijakan tersebut mencakup kebjakan hubungan kerjasama ekonomi antar negara, investasi, serta kebijakan ekonomi lainnya. Hal tersebut menyebabkan aktor transnasional seperti MNC’s mengalami kesulitan untuk masuk kedalam negara, karena semua kebijakan ekonomi di tangan pemimpin tertinggi negara. Presiden akan menolak dengan tegas kehadiran aktor transnasional dalam hal ini MNC’s jika dianggap tidak searah dengan kebijakan negara, atau bahkan dapat menggoyahkan eksistensi ideologi Juche.
Dapat disimpulkan Korea Utara adalah negara yang tertutup terhadap aktor transnasionalisme dan gagal dalam mengelola perekonomian negaranya. Ideologi Juche menyebabkan semua kebijakan ekonomi diatur oleh pemimpin negara, rakyat tidak bebas melakukan kegiatan ekonomi sehingga tidak semua kebutuhan rakyatnya terakomodasi dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya angka kemiskinan dalam negeri dan banyak warga yang ingin keluar dari negaranya.
Di sisi lain terdapat negara yang tertutup akan adanya aktor transnasional namun berhasil mengelola negaranya yaitu Venezuela. Seperti yang diketahui belakangan ini, negara yang terletak di kawasan Amerika latin tersebut melakukan banyak kebijakan nasionalisasi terhadap MNC. Misalnya terhadap perusahaan Exxon (kompas internastional 2012) dan memenangkan gugatan dengan hanya membayar kecil dari total kerugian yang diinginkan oleh perusahan tersebut. Ini tidak lepas dari sebuah sistem yang di bangun di Venezuela oleh Presiden negara tersebut yaitu Hugo Chavez. Sistem ini disebut dengan sistem Sosialisme Bolivarian yaitu sebuah ajaran yang berasal dari cita-cita dan prinsip-prinsip Simon Bolivar, tokoh nasionalis revolusioner anti penjajahan Spanyol, yang dikagumi oleh rakyat-rakyat di berbagai negara di  Amerika Latin. Gagasan-gagasan besar Simon Bolivar itu kemudian dikembangkan jadi garis revolusioner untuk mengubah negeri, pemerintahan dan masyarakat Venezuela.[3]
Revolusi Bolivarian ini disebut juga sosialisme Bolivarian, sosialisme revolusioner dan demokratik, atau sosialisme partisipatif, yang kemudian juga dinamakan sosialisme abad ke-21. Sosialismenya Hugo Chavez mengakui perlunya pluralisme politik. Kritisisme terhadap privatisasi besar-besaran dan menjadikan perang melawan korupsi sebagai slogan utamanya, baik pada level pemerintahan sipil maupun di dalam tubuh militer. Isi dari Sosialisme Bolivarian ini adalah setiap kelas bisa mencapai kemakmuran bersama dan aktor paling penting dalam Sosialisme Bolivarian ini adalah rakyat Venezuela yang terdiri dari kaum buruh, petani, miskin kota, dan kaum muda.[4]
Pemerintah Venezuela menggunakan dewan komunal sebagai tenaga pokoknya dalam agenda revolusi bolivarian mereka. Dewan-dewan komunal ini dibentuk di berbagai level massa, untuk memutuskan kebutuhan mendasarnya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah, konstitusi Negara ini dirubah menjadi konstitusi yang lebih kerakyatan.[5] Demokrasi partisipatoris dimulai dari barios-barios atau desa-desa sehingga semua rakyat dilibatkan. Hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah Venezuela diantaranya melakukan pendidikan rakyat gratis dan rakyat mendapat subsidi pangan melalui koperasi.[6] Sehingga rakyat sudah mendapat kebutuhan dasar secara tepat, nasionalisasi terhadap perusahaan asing yang dilakukan juga hanya dilakukan kepada industri strategis seperti tambang minyak, besi baja sehingga meningkatkan perekonomian rakyat.
Meskipun negara Venezuela negara yang tertutup dengan salah satu aktor Transnasional yaitu MNC bahkan cenderung melakukan konfrontasi dengan aktor tersebut, namun negaranya berhasil mengelola ekonomi rakyatnya karena pemerintahnya melakukan penyerapan aspirasi dengan baik melalui dewan komunal yang dibentuk di tiap level massa. Terdapat upaya untuk mendirikan banyak program pro rakyat sehingga pertumbuhan bukan lagi trickle down effect (perekonomian rakyat ditunjang investasi asing) melainkan menjadi trickle up effect (pertumbuhan dari rakyat sehingga meningkatkan perekonomian rakyat).
Untuk lebih mudah dipahami kami sajikan dalam bentuk tabel perbandingan negara Korea Utara dengan Venezuela tersebut, sebagai berikut :
KOREA UTARA
VENEZUELA
Negara yang tertutup terhadap aktor transnasionalisme dan gagal dalam mengelola perekonomian negaranya
Negara yang tertutup terhadap aktor transnasionalisme namun sukses dalam mengelola perekonomian negaranya
1.      Sistem kekuasaan tunggal (pemimpin negara)
2.      Adanya ideology Juche sebagai pemujaan personal untuk Kim Il-sung (Pemimpin Korea Utara)
3.      Juche dirancang untuk menghadang pengaruh dari luar yang mungkin akan menggoyahkan kekuasaan penuh Kim Il Sung
4.      Semua kebijakan ekonomi di tangan pemimpin tertinggi
5.      Rakyat tidak bebas melakukan kegiatan ekonomi sehingga tidak semua kebutuhan rakyatnya terakomodasi dengan baik
6.      Pemimpin negara lebih mementingkan eksistensinya daripada kemakmuran rakyat
1.      Adanya sistem Sosialisme Bolivarian yang mengakui perlunya pluralisme politik
2.      Kritisisme terhadap privatisasi besar-besaran dan menjadikan perang melawan korupsi sebagai slogan utama
3.      Sosialisme Bolivarian menyebutkan bahwa setiap kelas (kaum buruh, petani, miskin kota, dan kaum muda) bisa mencapai kemakmuran bersama
4.      Dibentuknya dewan-dewan komunal untuk menyerap aspirasi rakyat dan implementasinya dengan dibuat program-program yang pro rakyat (konstitusi lebih kerakyatan)
5.      Nasionalisasi perusahaan asing hanya dilakukan kepada industri strategis seperti tambang minyak, besi baja

Daftar pustaka

http://yodha-sarasvati.blogspot.com/2006/03/hugo-chaves-seorang-sosialis.html

TUGAS SOSIOLOGI KRITIK


1.      Bagaimana pikiran dari Habermas dalam bukunya “menuju masyarakat komunikatif” menjadi praksis?
Jawab :
            Pertanyaannya bagaimana, jadi menurut saya jawabannya adalah lebih menekankan pada “cara” dan mungkin syarat-syarat bagaimana pikiran Habermas tentang masyarakat komunikatif tersebut dapat menjadi praksis atau teori yang dipraktekkan. Mengingat kembali pemikiran Habermas tentang praksis itu sendiri. praksis menurut Habermas tidak hanya sebatas tindakan manusia yang dilakukan secara naluriah melainkan juga atas dasar rasionalitas manusia itu sendiri dalam melakukan tindakan tersebut sebagai makhluk sosial sebagai jalan keluar dari pengertian praksis yang mengalami kemacetan pada waktu Marx menyempitkan pengertian praksis hanya sebagai “kerja” sehingga ada makna ketimpangan kelas didalamnya. Rasional menurut Habermas disini mengacu pada integrasi antar individu yang bersifat komunikatif dan obyektif dalam memahami suatu keadaan, sehingga masyarakat dapat mengeluarkan argumen-argumen dalam suatu perbincangan (diskursus).
            Dalam hal ini sudah jelas beberapa “cara” atau syarat agar pemikiran Habermas tersebut dapat menjadi praksis menurut saya antara lain yakni yang pertama adanya kesadaran rasional dari individu untuk berpikir dan berpandangan lebih obyektif terhadap suatu keadaan. Dalam hal ini masyarakat dituntut harus “cerdas” dalam artian mampu menanggapi keadaan secara obyektif dan mampu mengeluarkan argument-argumen dan dapat membentuk diskursus. Yang kedua, dalam diskursus itu sendiri syaratnya adalah “tidak adanya pihak yang tertekan” atau karena adanya perbedaan kelas (dominasi kelas), sehingga argumen benar-benar muncul dari semua lapisan masyarakat tanpa adanya tekanan dari kelas masyarakat tertentu. Dan yang terakhir adalah komunikasi tersebut mampu menghasilkan consensus yang bebas dari dominasi dan tekanan serta dapat mengakomodasi kepentingan yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercapai “kebenaran” atas consensus tersebut dan dianggap sah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat.

2.      Apakah mungkin masyarakat komunikatif dapat dilakukan dalam masyarakat yang tidak egaliter?
Jawab :
            Menurut saya tentu saja tidak bisa diterapkan, karena berdasarkan pemikiran Habermas sendiri disini masyarakat dituntut harus cerdas semuanya, dan mampu berpikir rasional dan obyektif terhadap keadaan sehingga timbul komunikasi antar masyarakat itu sendiri untuk menunjukkan argumen-argumen dalam “ruang publik” untuk berkomunikasi dalam mencapai consensus yang bebas dominasi. Sedangkan dalam masyarakat yang tidak egaliter, tentu cenderung melahirkan masyarakat yang cenderung structural, sehingga kemudian timbul masyarakat mayoritas dan minoritas. Dalam hal ini masyarakat minoritas kemudian cenderung termarjinalkan dan selalu mendapat tekanan dari kaum mayoritas sehingga hasil consensus penuh dengan kepentingan yang dipaksakan kepada kaum minoritas. Dalam hal ini adanya perbedaan kelas tersebut menimbulkan konsep Top Down di dalam masyarakat sehingga ketika terjadi komunikasi tidak dapat mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat.

3.      Selanjutnya apakah bisa diterapkan dalam masyarakat feodal dan tidak demokratis?
Jawab :
            Jawaban saya tetap tidak, karena jelas dalam masyarakat feodal dimana terdapat pembagian atas masyarakat yang terstruktur berdasarkan penguasaan tanah. Tentu saja keputusan tertinggi berada pada tangan-tangan tuan tanah. Dalam hal ini jelas masyarakat sifatnya Top Down sehingga ada yang termarjinalkan. Sama halnya dalam masyrakat yang tidak demokratis, masyarakat dalam suatu negara yang otoriter misalnya. Ambil contoh Indonesia pada masa presiden Soeharto, sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya komunikasi dalam masyarakat, karena keputusan tertinggi berada di tangan presiden dan harus diterima dan dilaksanakan oleh seluruh warga negara. Tidak jarang penggunaan kekerasan yang sifatnya represif dari pemerintah sehingga rakyat mau tidak mau mematuhi peraturan yang dibuat. Dalam hal ini saja sudah bertolak belakang dengan pemikiran Habermas bahwa masyarakat Komunikatif bukanlah tercipta dari kekerasan melainkan lewat “argumentasi”. Bagaimana bisa rakyat mengeluarkan argumen-argumennya jika dalam kondisi tertekan dalam rezim represif otoriter yang sama sekali tidak demokratis ini.

TUGAS DEMOKRATISASI


1. Jelaskan kritik sosialisme terhadap demokrasi liberal.

Demokrasi merupakan produk dari paham liberalisme dewasa ini. Demokrasi sendiri menurut Abraham Lincoln merupakan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berarti di sini demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mengutamakan kedaulatan rakyatnya. Demokrasi dan liberalisme merupakan dua hal yang saling terkait. terdapat beberapa macam bentuk demokrasi dan salah satunya adalah demokrasi liberal.
Liberalisme sendiri merupakan paham yang sangat menekankan dan mengutamakan kepemilikan individu, karena kesejahteraan manusia dianggap dapat diraih dengan adanya kebebasan individu untuk hidup, dan termasuk di dalamya kebebasan dalam berusaha. Demokrasi liberal memiliki makna sebagai sistem pemerintahan yang lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu ataupun masyarakat.[1] Dalam hal ini tidak ada pihak yang bisa merampas hak individu tersebut tidak terkecuali negara. Bahkan, negara harus melindungi hak-hak individu warga negaranya tersebut.
Sekilas memang bentuk demokrasi ini sangat berpihak dan mengutamakan rakyat. Namun dalam prakteknya demokrasi liberal ini justru banyak menerima kritik dari berbagai kalangan karena demokrasi liberal justru melahirkan ketidakstabilan dalam berbagai bidang. Salah satunya kritik dari kaum sosialis. Kritik tersebut berpandangan bahwa demokrasi liberal hanyalah suatu sistem yang hanya menguntungkan kaum minoritas saja. Dikatakan hanya kaum minoritas saja yang diuntungkan disini meninjau dari prinsip dasar demokrasi itu sendiri. Prinsip demokrasi yang mengutamakan kedaulatan rakyat dimana pemerintahan dari oleh dan untuk seluruh rakyat. Namun kenyataannya hanya kaum minoritas yang tidak lain adalah kelompok-kelompok yang menguasai ekonomi dan memiliki akses politik saja yang akan terus berusaha mengutamakan kepentingannya dengan menggunakan akses politik yang mereka miliki dalam pemerintahan.
        Berikut adalah ciri-ciri demokrasi liberal :
1.      Kontrol terhadap negara, alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol.
2.      Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional
3.      Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh peraturan perundangan
4.      Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang untuk memperjuangkan dirinya.[2]
Dari ciri-ciri di atas secara jelas dapat dilihat bahwa konstitusi memiliki pengaruh kuat bahkan membatasi kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan. Kaum minoritas yang selalu memperjuangkan kepentingannya khususnya dalam bidang ekonomi dan politik, tentunya akan memanfaatkan akses politiknya bahkan mereka duduk di kursi pemerintahan. Mereka dapat leluasa mengatur dan membuat konstitusi yang akan memihak dan menguntungkan mereka. Sehingga kebebasan yang diagung-agungkan dalam demokrasi hanya menjadi milik mereka (kaum minoritas) yang memiliki modal, yang memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber ekonomi dan politik tentunya. Hal inilah yang menyebabkan ketidakstabilan dalam berbagai bidang tentunya dalam bidang ekonomi dan politik, dan tentunya sangat bertolak belakang dengan cita-cita demokrasi itu sendiri.

2. Review secara kritis pandangan demokrasi Asia dari tokoh-tokoh seperti Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew.
            Demokrasi Asia, tentunya dari namanya saja sudah dapat menunjukkan bahwa demokrasi tersebut berada di kawasan Asia. Hal yang dapat membedakan demokrasi Asia dan demokrasi di negara barat yakni kondisi di kawasan Asia yang sangat majemuk, terdapat beragam kebudayaan dan agama yang menjadi pilar dari demokrasi itu sendiri. Sehingga dapat dikatakan demokrasi Asia merupakan demokrasi yang khas ada di Asia yang berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa Asia yang di dalamnya mengandung unsur-unsur budaya ketimuran sebagai pondasi demokrasinya.      
            Namun demokrasi Asia jika di lihat pada kepemimpinan tokoh-tokoh negara antara lain Mahathir Mohammad dan Lee Kuan Yew dalam kasus ini, demokrasi pada kepemimpinan kedua tokoh tersebut masih belum bisa dikatakan sebagai demokrasi yang benar-benar dapat menjunjung tinggi nilai-nilai universal demokrasi. Nilai-nilai universal tersebut seperti persamaan kedudukan di depan hukum, pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis, pengakuan atas hak-hak sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif.[3]
            Di Malaysia yang menganut sistem multipartai, namun kenyataannya hanya satu partai yang mendominasi pemerintahan dan selalu menang di pemilu yakni partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). Dominasi UMNO ini selama puluhan tahun menunjukkan keterbatasan partai politik lainnya (oposisi) untuk bergerak karena manipulasi pemilu yang selalu dilakukan. Pemilu selalu didominasi UMNO, sehingga pemilu semata-mata hanya menjadi proses sirkulasi elit-elit partai untuk duduk di pemerintahan. Tidak khayal jika pemerintahan bersifat tertutup dan rakyat sangat minim sekali informasi akan pemerintahan sehingga tindak korupsi merajalela di dalam pemerintahan. UMNO mengutamakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di negaranya dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat sebagai partai berkuasa. Namun justru kebijakan-kebijakan tersebut tidak memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat, karena kebijakan yang dibuat sangat diskriminatif dan mengutamakan etnis melayu diatas etnis lainnya. Terdapat hak istimewa etnis melayu yang dikenal dengan istilah hak keistimewaan “bumi putera”.[4] Sehingga terjadi diskriminasi politik terhadap etnis-etnis minoritas seperti India dan China.
            Tidak jauh beda panggung politik di Singapura yang didominasi People Action Party atau Partai Aksi Rakyat (PAP), partai yang didirikan oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew dan merupakan the ruling party.[5] Dimana dengan dominasi partai tersebut di singapura memang dapat menciptakan kemajuan ekonomi yang pesat meskipun secara geografis minim sekali sumber daya alam. Negara sangat tergantung dengan investor sehingga selalu berusaha menjaga stabilitas investor, namun di sisi lain nilai-nilai demokrasinya menjadi tersisihkan. Parlemen mayoritas dikuasai oleh elit-elit dari PAP. Lee Kuan Yew menganggap dominasi satu partai tersebut sudah sangat baik bagi negara terkait pembangunan dan kemajuan negara, serta menganggap kehancuran besar bagi Singapura jika partai oposisi nantinya duduk di pemerintahan karena akan merombak sistem yang sudah ada.[6] Terlihat sifat keotoriteran yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew terhadap masyarakat dengan melarang rakyatnya dalam pemilu memilih calon dari partai oposisi.
            Kesadaran rakyat akan sentralisasi serta tindak represif pemerintah tersebut, kemudian hingga saat ini banyak melahirkan tuntutan-tuntutan dari rakyat agar dilakukannya revolusi demokrasi di negaranya.
3. Review secara kritis pemerintahan demokrasi Pancasila semasa Suharto.
        Demokrasi Pancasila merupakan salah satu bentuk demokrasi yang unik dan hanya ada di Indonesia. Demokrasi Pancasila memiliki pengertian yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[7] Melihat dari pengertian demokrasi tersebut sangat jelas bahwa landasan dasar dari demokrasi yang dianut Indonesia tersebut adalah 5 butir sila yang terkandung dalam pancasila. Intinya pancasila haruslah kuat sebagai tempat untuk menggantungkan cita-cita bangsa untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Jika dilihat dari butir-butir pancasila, maka lima sila itu sudah mencakup tentang gambaran ideal mengenai bagaimana manusia Indonesia berhubungan dengan Tuhannya, bagaimana hidup dengan orang lain sebagai manusia, bagaimana memutuskan sesuatu, bagaimana filsafat yang lebih memandang penting persatuan dan kesatuan daripada ketercerai beraian, dan bagaimana sebuah keadilan diperjuangkan demi seluruh rakyat Indonesia.[8]
            Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat. Dimana sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat atau persetujuan rakyat. Cita-cita universal demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang didasari semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas. Sangat ideal sekali bentuk demokrasi pancasila yang hanya ada di Indonesia tersebut.
            Namun dalam prakteknya, pada masa pemerintahan soeharto yakni rezim yang dikenal dengan nama orde baru banyak sekali terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap visi dan tujuan demokrasi pancasila itu sendiri. Berbagai bentuk pelanggaran tersebut antara lain pelanggaran terhadap HAM, sentralistik kekuasaan, konsep dwi fungsi ABRI, pelanggaran konstitusi yang dilakukan soeharto terkait masa jabatan presiden, aspirasi rakyat dan kebebasan pers yang terbatas, serta mulai maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
            Pelanggaran HAM ditandai dengan adanya diskriminasi dan marjinalisasi terhadap masyarakat non pribumi atau Tionghoa. Dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi dan sangat beraroma rasis.[9] Adanya peraturan pelarangan sekolah dan terbitnya buku berbahasa Cina. Pelanggaran konstitusi sangat jelas terkait dengan masa jabatan presiden yang berkali-berkali terpilih menjadi presiden dan menjabat selama 32 tahun. Hal ini ditunjang dengan dominasi partai Golkar sebagai single party majority. Meskipun negara menganut sistem multipartai, namun kursi pemerintahan dan parlemen dikuasai oleh elit-elit Golkar yang tak lain kaki tangan Soeharto. Sehingga melahirkan sentralistik kekuasaan oleh Soeharto pada masa itu.
            Konsep dwi fungsi ABRI, yang dimaksud disini adalah selain berfungsi sebagai garis depan dalam pertahanan nasional mereka juga turut serta dalam urusan pemerintahan bahkan duduk sebagai pejabat pemerintahan dalam mengatur kebijakan negara. Keterbatasan aspirasi rakyat pada masa orde baru terlihat dengan adanya “Penembakan Misterius” yang dikenal dengan istilah PETRUS pada masa itu dilansir guna menjaga keamanan nyatanya itu hanya sebagai tindak kekerasan bagi mereka kalangan masyarakat yang mulai tidak sepaham atau tidak mendukung Soeharto. Dengan adanya tindak kekerasan PETRUS tersebut menyebabkan ketakutan yang luar biasa pada rakyat, sehingga untuk mengeluarkan pendapat dan beraspirasi mereka akan berpikir dua kali.
            Kebebasan pers dibatasi ditandai dengan pencabutan Surat Ijin Terbit beberapa Koran dan juga penahanan terhadap sejumlah pemimpin redaksi Koran tersebut dikarenakan melakukan publikasi terhadap rahasia negara terkait anggaran negara dan juga dinilai berita yang dimuat menjelek-jelekka nama Soeharto dan kepemimpinannya. Misalnya pada Pada tahun 1974, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT) karena Pers dituduh telah menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah dan lain-lain.[10] 
            Tindak Korupsi, kolusi dan Nepotisme yang marak pada masa Soeharto, dimana kursi pemerintahan berada di tangan kroni-kroni soeharto, pemerintahan sangat tertutup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi praktek-praktek KKN. Pembangunan yang menjadi ikon pemerintah Orde Baru ternyata menciptakan konglomerasi dan bisnis yang syarat dengan KKN. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi dan sosial yang demokratis. Meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.



[2] Ibid.
[6] http://andikahendramustaqim.blogspot.com/2008/11/pm-singapura-lebih-suka-dominasi-satu.html
[8] Dikutip dari Redi Panuju, “ OPOSISI DEMOKRASI DAN KEMAKMURAN RAKYAT”, hal. 78.

Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Keputusan Keluarnya Indonesia dari Keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Masa Pemerintahan Presiden Soekarno


I.       PENDAHULUAN
            Topik yang akan dibahas dalam karya tulis ini adalah mengenai kebijakan luar negeri Indonesia yang mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada masa pemerintahan presiden Soekarno. Melalui pidatonya pada rapat umum di Kalarta pada 7 Januari 1965 Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Dalam karya tulis ini penulis tertarik dan menemukan pokok permasalahan yang harus dianalisis terkait sebab-sebab yang menjadi faktor penyebab negara Indonesia berani mengambil kebijakan luar negeri tersebut. Dijelaskan pula kerangka berpikir yang dipakai oleh penulis untuk kemudian digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis permasalahan. Kemudian hasil analisis dijelaskan secara terperinci dalam pembahasan sehingga dapat diambil kesimpulan.















II.          MASALAH
2.1              Latar Belakang Masalah
Salah satu syarat suatu negara telah bebas dari penjajah dan dapat dikatakan telah merdeka adalah mendapatkan pengakuan dari negara lain. Makna dalam syarat tersebut adalah tuntutan dari negara itu sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat Internasional bahwa negara telah merdeka dan bebas dari jajahan negara lain. Salah satu cara yang bisa diambil yakni adalah dengan ikut serta dan bergabung dengan organisasi-organisasi internasional yang telah lebih dulu eksis di dunia Internasional. Hal tersebut sudah dilakukan oleh negara Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 dengan masuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pertama kalinya pada tanggal 28 September 1950.[1] Dengan masuknya Indonesia menjadi salah satu anggota PBB ini menunjukkan suatu upaya aktualisasi diri oleh negara Indonesia demi mendapatkan lebih banyak pengakuan dari negara lain akan kemerdekaannya serta juga dapat menjalin hubungan kerjasama dengan negara anggota PBB yang lain.
Namun terjadi suatu fenomena yang mungkin sangat bertolak belakang dengan upaya aktualisasi diri tersebut yakni dengan pernyataan oleh presiden Soekarno yang menyatakan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Tepat pada tanggal 7 januari 1965 Presiden republik Indonesia Ir. Soekarno pada rapat umum Anti pangkalan Militer Asing di kalarta melalui pidatonya menyatakan Indonesia keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB).[2] Tentu saja pidato dan keputusan Presiden Soekarno ini mengejutkan banyak pihak tak terkecuali negara anggota PBB lainnya. Keputusan tersebut tentu saja akan memberi dampak dapat terkucilkannya negara Indonesia dari dunia Internasional, namun tetap saja keputusan tersebut berani dan dengan tegas dinyatakan oleh presiden Soekarno pada masa itu. Dari sini kemudian penulis mendapatkan hal yang menarik untuk lebih dalam dibahas terkait alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan negara Indonesia berani mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan PBB.

2.2       Pokok Permasalahan
 Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis mendapatkan suatu permasalahan yang kemudian dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut:
Mengapa Indonesia mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk keluar dari keanggotaan PBB pada masa pemeritahan presiden Soekarno?













III.             TEORI
            Dalam menganalisis permasalahan dan menemukan jawaban atas pokok permasalahan, penulis memiliki konsep pemikiran yang berlandaskan suatu teori dan dijadikan kerangka berpikir untuk menjawab rumusan masalah dalam karya tulis ini. Teori yang dipakai sebagai kerangka berpikir tersebut adalah analisis dari seorang ahli yakni M. G. Hermann & Hermann tentang tiga macam unit-unit utama pembuatan keputusan yakni antara lain predominan leader, kemudian yang kedua adalah single Group, dan yang ketiga adalah multiple autonomous actors.[3] Dalam menjawab rumusan masalah ini penulis mengambil salah satu tingkat analisis unit yakni predominan leader atau unit keputusan berdasarkan pemimpin dominan. Unit analisis ini dijadikan kerangka berpikir penulis untuk menganalisis proses pengambilan keputusan negara Indonesia oleh presiden Soekarno sebagai pemimpin negara.
            Predominan leader merupakan salah satu unit pengambil keputusan utama yang mengarah pada pemimpin suatu negara yang cenderung sifatnya dominan. Jika pemimpin tersebut memiliki pandangan yang kuat maka dia hanya mencari informasi untuk mengkonfirmasi keputusannya dan kurang sensitif terhadap nasehat ataupun informasi.[4] Tipe unit utama pengambil keputusan ini sangat sesuai dengan presiden Soekarno yang kita ketahui karakternya yang sangat berkharisma, berani mengambil keputusan, dan sangat tegas menolak segala bentuk kolonialisme dan imperialisme barat yang tentunya pernah menjajah negara Indonesia.
            Penulis juga menggunakan asumsi dasar realisme yakni self help dimana negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional, tapi harus mencari cara sendiri.[5] Negara harus selalu curiga terhadap negara lain akan semua tingkah laku negara lain ataupun organisasi internasional yang memungkinkan terjadinya ancaman bagi negaranya. Berdasarkan asumsi tersebut sesuai dengan kondisi negara Indonesia dibawah kepemimpinan presiden Soekarno saat itu, dimana pada saat itu terjadi banyak perselisihan antara Indonesia dengan negara tetangga yakni Malaysia.
            Perselisihan antara Indonesia-Malaysia ini membuat pribadi presiden Soekarno sendiri selalu berpikiran negara terhadap pendirian negara tersebut. Malaysia dianggap sebagai salah satu negara boneka dan antek kolonialisme negara barat. Sehingga tidak sedikit upaya-upaya yang dilakukan oleh Soekarno untuk melawan Malaysia salah satunya adalah politik ganyang Malaysia yang dilakukan oleh Soekarno yang menganggap pembentukan negara federasi Malaysia sebagai bentuk ancaman bagi keutuhan negara republik Indonesia.
            Puncaknya pada akhirnya ketika diangkatnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB. Dengan pengangkatan tersebut kemudian secara tegas presiden Soekarno memberikan pernyataan bahwa negara Indonesia keluar dari keanggotaan PBB karena presiden Soekarno sudah tidak percaya lagi pada kinerja PBB sebagai organisasi internasional yang dianggapnya terlalu sarat dengan kepentingan negara barat. PBB dianggap sebagai organisasi yang menindas negara-negara dunia ketiga yang berkiblat kolonialisme barat sehingga menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa.


IV.       ARGUMEN
            Berdasarkan kerangka pemikiran yang digunakan oleh penulis, dapat dilakukan analisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan negara Indonesia melalui presiden Soekarno berani mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan organisasi internasional PBB. Berdasarkan unit pengambil keputusannya yakni predominan leader dimana presiden Soekarno sebagai pemimpin negara Indonesia memiliki karisma sehingga mendapatkan legitimasi dari rakyatnya untuk menjalankan pemerintahan, serta dalam pengambilan kebijakan negaranya yang berdasarkan cara pandang sendiri terhadap kondisi negara Indonesia dan dunia Internasional saat itu. Serta sikap selfhelp yang menuntut negara agar tidak selalu percaya pada negara lain ataupun organisasi internasional. Maka faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia tersebut selalu berdasarkan persepsi satu arah dari presiden Soekarno sebagai pemimpin negara Indonesia.
            Faktor-faktor tersebut kemudian dibagi menjadi tiga faktor yakni antara lain yang pertama adalah pandangan presiden Soekarno terhadap kondisi negara Indonesia pada waktu itu yang didasari dampak adanya konfrontasi dengan Malaysia sejak pembentukan Malaysia oleh Inggris sebagai negara federasi. Atas dasar tidak suka dan kewaspadaan yang tinggi terhadap Malaysia sebagai ancaman bagi keutuhan Indonesia inilah yang kemudian menjadi alasan utama keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB.
            Faktor kedua adalah persepsi presiden Soekarno terhadap PBB yang dianggap sebagai organisasi yang cenderung mencerminkan organisasi yang sarat akan kepentingan barat, dimana PBB dinilai cenderung terlalu condong pada salah satu kutub yakni blok barat dalam kondisi perang dingin waktu itu. Kemudian faktor yang ketiga ketidakmampuan PBB untuk menyelesaikan masalah-masalah negara anggotanya, justru PBB seakan-akan hanya menjadi arena perselisihan diantara negara anggotanya yang terlibat konfrontasi.
V.        PEMBAHASAN
            Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang secara resmi dibentuk pada 24 Oktober 1945, melalui ratifikasi piagam 5 negara anggota tetap dewan keamanan PBB yakni Perancis, Republik Cina, Uni Soviet, Inggris dan Amerika Serikat.[6] Organisasi internasional PBB didirikan sebagai organisasi internasional yang berwujud perserikatan negara-negara di dunia yang dianggap sebagai organisasi yang menggantikan posisi organisasi sebelumnya yakni Liga Bangsa Bangsa (LBB). LBB dianggap telah gagal sebagai organisasi internasional dalam mencegah terjadinya Perang Dunia kedua, sehingga untuk mencegah kemungkinan terjadinya Perang Dunia ketiga yang tentu saja tidak diinginkan oleh seluruh masyarakat negara di dunia ini kemudian dibentuklah organisasi PBB tersebut.
            PBB diharapkan dapat menggantikan LBB dalam rangka untuk memelihara perdamaian internasional dan meningkatkan kerjasama dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial dan kemanusiaan internasional. Namun di sisi lain organisasi internasional PBB juga mendapatkan beberapa kritikan yang menganggap PBB sebagai sebuah organisasi internasional yang berupaya untuk membentuk sebuah pemerintahan yang mengatur seluruh dunia, terlihat dari negara-negara anggota tetap dewan keamanannya yang beranggotakan negara-negara yang besar dan kuat yang cenderung memiliki power terbesar di dunia pada saat itu.
            Berdirinya organisasi Internasional PBB sangat dekat dengan tanggal merdekanya bangsa Indonesia yang terpaut hanya beberapa bulan dari negara Indonesia yakni yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Indonesia pada saat baru merdeka tentu saja membutuhkan pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannya. Maka dari itu Indonesia harus melakukan aktualisasi diri terhadap dunia internasional dengan jalan bergabung dalam organisasi internasional seperti PBB yang pada masa itu menjadi organisasi internasional yang sangat berpengaruh di dunia Internasional.
            Dengan bergabungnya Indonesia dalam keanggotaan organisasi internasional PBB pada tanggal 28 September 1950 ini menunjukkan upaya bangsa Indonesia selain untuk aktualisasi diri ke dunia internasional yang tujuannya mendapatkan lebih banyak pengakuan atas kemerdekaan negara Indonesia, bergabungnya Indonesia dalam organisasi internasional PBB juga bertujuan agar dapat menjalin kerjasama dengan sesama negara anggota dalam segala bidang. Dengan kerjasama tersebut tentu saja diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan negara Indonesia itu sendiri serta dapat aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia.
            Namun bagaimana jika suatu negara justru mengambil kebijakan untuk keluar dari keanggotaan organisasi tersebut yang tentu saja dapat diperkirakan dampak negatifnya bagi negara itu sendiri, yakni dapat terkucilkannya negara tersebut dari dunia internasional. Dalam hal ini seperti yang dilakukan oleh negara Indonesia pada tanggal 7 januari 1965 dengan dinyatakannya keputusan untuk keluar dari keanggotaan organisasi internasional PBB melalui pidato langsung dari presiden Soekarno dalam rapat umum Anti pangkalan Militer Asing di kalarta.
            Jika dianalisis berdasarkan kerangka berpikir penulis menganalisis pengambilan keputusan negara Indonesia pada saat itu berdasarkan persepsi tunggal dan keputusan tegas dari presiden Soekarno itu sendiri untuk keluar dari keanggotaan organisasi internasional PBB pada masa itu. Keputusan itu diambil berdasarkan pandangan serta sikap presiden Soekarno yang sudah berpandangan kurang baik terhadap organisasi internasional PBB. Terdapat faktor pertama yang menyebabkan presiden Soekarno mengambil kebijakan tersebut yakni terkait perselisihan negara Indonesia dengan negara Malaysia.
            Perselisihan Indonesia dengan Malaysia ini sebenarnya sudah muncul sejak pendirian negara Malaysia sebagai negara federasi Inggris. Presiden Soekarno menganggapnya sebagai suatu ancaman bagi negara Indonesia di mana didirikannya negara Malaysia sebagai negara federasi Inggris tersebut dianggap sebagai salah satu langkah kolonialisme dan imperialisme barat. Bentuk konfrontasi terhadap Malaysia ini dimulai lewat rapat raksasa tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta dimana Presiden Soekarno meneriakkan dua komando yakni pertama, pertinggi ketahanan revolusi. Kedua, bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah dan Serawak untuk menghancurkan Malaysia. Bahkan sebelumnya yakni pada 27 Juli 1963, Bung Karno telah menyerukan slogan ‘Ganyang Malaysia’.[7]
            Konfrontasi ini kemudian semakin memanas dengan rencana pengangkatan Malaysia sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB, tentu saja hal tersebut menyebabkan presiden Soekarno murka dan pada tanggal 31 Desember 1946 mengeluarkan ancaman lewat pidatonya untuk keluar dari organisasi internasional PBB jika hal tersebut benar-benar terjadi dengan poin-poin pidato sebagai berikut:
·         Agar para anggota PBB tidak mendukung masuknya malaysia kedalam PBB
·         Agar anggota-anggota PBB lebih memilih tetap tinggalnya Indonesia dalam PBB daripada mendukung masuknya malaysia kedalam Dewan keamanan PBB
·         Memperingatkan PBB bahwa Indonesia bersungguh-sungguh akan melaksanakan Niatnya.[8]
Namun kenyataannya kemudian rencana tersebut tetap saja direalisasikan oleh PBB walaupun secara tegas telah menerima ancaman dari presiden Soekarno. Faktor inilah yang kemudian menjadi faktor pertama penyebab negara Indonesia melalui presiden Soekarno menyatakan keluar dari keanggotaan organisasi internasional PBB.
            Faktor selanjutnya tetap berdasarkan pandangan dari presiden Soekarno terhadap organisasi internasional PBB. PBB dipandang sebagai suatu organisasi internasional yang terlalu padat dengan kepentingan negara-negara Barat. Pada masa itu dunia sedang mengalami yang namanya perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Dalam kondisi seperti ini seharusnya dengan hadirnya organisasi internasional PBB yang dianggap sebagai organisasi yang menggantikan organisasi internasional sebelumnya yakni LBB yang telah gagal dalam mencegah terjadinya perang dunia kedua, PBB seharusnya menjadi organisasi interasional yang dapat mewujudkan cita-citanya yakni memelihara perdamaian internasional dan meningkatkan kerjasama dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial dan kemanusiaan internasional.
            Dalam hal ini seharusnya organisasi internasional PBB menjadi badan yang netral tidak berlatar belakang atau memihak pada salah satu blok yang sedang bersitegang dalam perang dingin, sehingga PBB dapat benar-benar mengakomodasi negara-negara anggotanya yang tentu saja memiliki ideologi dan sistem pemerintahan yang berbeda-beda satu sama lain. Namun pandangan presiden Soekarno terhadap PBB justru organisasi internsional PBB ini cenderung condong ke arah blok barat. Dimana terdapat dominasi negara-negara blok barat yakni Amerika Serikat dan sekutunya.
            Beberapa fakta yang memperkuat pandangan Soekarno terhadap PBB tersebut yakni antara lain soal kedudukan markas PBB yang sejak tahun 1946 berada di Amerika Serikat yakni di New York bahkan hingga saat ini PBB masih tetap bermarkas di New York.[9] Pandangan Soekarno terhadap hal ini adalah markas PBB seharusnya diletakkan di daerah yang netral dalam kondisi perang dingin seperti di masa itu. Namun dengan diletakkannya markas PBB tersebut di New York, Amerika serikat semakin menggambarkan kecondongan organisasi tersebut ke salah satu blok dalam kondisi perang dingin pada masa itu.
            Fakta lainnya yang memperkuat asumsi Soekarno tersebut yakni tidak adanya pembagian yang adil di antara personal organisasi internasional PBB dalam lembaga-lembaganya, yakni antara lain sebagai contoh adalah bekas ketua UNICEF adalah seorang warga negara Amerika, kemudian ketua Dana Khusus adalah Amerika, selanjutnya badan Bantuan Teknik PBB diketuai oleh orang Inggris. Bahkan badan kesekretariatan selalu dipegang kepala staf yang berkebangsaan Amerika sehingga hasil kebijakan organisasi banyak mengakomodasi kepentingan Barat.[10]
            Fakta-fakta inilah yang kemudian membuat persepsi pesimis dari presiden Soekarno terhadap organisasi internasional PBB yang seharusnya menjadi sosok organisasi yang netral namun ternyata terdapat dominasi negara-negara barat yang sangat kuat dan berpengaruh. Persepsi yang dihasilkan kemudian, presiden Soekarno memandang organisasi internasional PBB sebagai salah satu organisasi internasional yang dibentuk berlandaskan paham kolonialisme dan imperialisme Eropa yang tentu saja sangat dibenci oleh presiden Soekarno sehingga hal ini juga menjadi faktor yang mendasari keputusan kebijakan Soekarno untuk keluar dari keanggotaan organisasi internasional PBB pada masa itu.
            Faktor yang ketiga adalah adanya persepsi dari Soekarno terhadap organisasi internasional PBB yang dipandang lemah dan tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya dalam mewujudkan tujuan organisasi tersebut yakni dalam hal menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh negara-negara anggotanya. Bahkan PBB cenderung hanya berfungsi sebagai media yang dijadikan arena beradu pendapat dan bersengketa antara negara-negara anggotanya yang bersengketa.
            Terkait ketidakmampuan organisasi internasional PBB dalam menyelesaikan permasalahan negara anggotanya dalam hal ini salah satunya adalah permasalahan perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia dan juga terkait masalah perjuangan Indonesia untuk mempertahankan Iria Barat. Terkait dengan faktor-faktor sebelumnya dalam hal konfrontasi Indonesia dengan Malaysia organisasi internasional PBB dianggap sangat lamban dan cenderung lebih berpihak pada Malaysia. Persepsi ini diperkuat dengan fakta bahwa negara Malaysia itu sendiri merupakan negara yang didirikan sebagai negara federasi Inggris yang letaknya sangat dekat dengan Indonesia. Hal ini yang dipandang sebagai ancaman oleh presiden Soekarno terhadap keamanan dan keutuhan bangsa Indonesia.
            Dalam hal ini Inggris sebagai salah satu anggota tetap dewan keamanan PBB tentu saja memiliki pengaruh yang kuat dalam pengambilan keputusan kebijakan PBB itu sendiri. Sehingga dalam menanggapi permasalahan Indonesia dengan Malaysia ini PBB cenderung condong dan memihak pada Malaysia dibawah pengaruh kuat Inggris. Terlihat dengan adanya rencana dan realisasi penetapan Malaysia sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB walaupun pada waktu itu Indonesia melalui pidato presiden Soekarno telah memberikan ancaman serius untuk keluar dari keanggotaan PBB. Di sini terlihat jelas proses pengambilan kebijakan organisasi internasional PBB yang selalu cenderung mengutamakan dan berdasarkan kepentingan-kepentingan negara Barat terutama negara-negara anggota tetap dewan keamanan PBB itu sendiri.
            Dalam kasus Irian Barat, PBB dianggap lamban dalam menanggapi permasalahan tersebut. Sejak tahun 1953 usaha melalui forum PBB dilakukan oleh Indonesia mengenai masalah Irian barat ini, setiap tahun selalu diusulkan untuk dibahas dalam Sidang Umum PBB namun sampai dengan Desember 1957 tak kunjung usaha berhasil disebabkan dalam pemungutan suara, pendukung Indonesia tidak mancapai 2/3 jumlah suara di Sidang Umum PBB.[11] Sehingga permasalahan Irian Barat yang dialami Indonesia cenderung tidak diperhatikan bahkan untuk dibahas dalam sidang umum pun sedikit negara anggota PBB lainnya yang mendukungnya.
            Faktor-faktor tersebut merupakan jawaban dari penyebab kebijakan luar negeri Indonesia untuk keluar dari keanggotaan PBB pada masa pemerintahan Soekarno. Dalam faktor-faktor tersebut didasari oleh salah satu unit analisis utama pengambil keputusan yakni pemimpin negara itu sendiri dalam kasus ini adalah presiden Soekarno dengan pandangan dan persepsi terhadap kondisi dunia pada saat itu dan pengaruhnya terhadap keamanan dan keutuhan bangsa Indonesia sehingga menjadi dasar pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahannya.
            Sedangkan berdasarkan asumsi realisme yakni self help dalam memandang tingkah laku bangsa Indonesia pada masa presiden Soekarno terlihat ketika presiden Soekarno tidak percaya lagi dan meragukan kemampuan organisasi Internasional PBB dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan utamanya untuk menjaga keamanan dunia serta membantu menyelesaikan masalah negara-negara anggotanya. Sehingga Indonesia memilih untuk keluar dari organisasi internasional PBB. Mungkin dengan keluarnya Indonesia dari PBB ini dinilai oleh negara lain akan berdampak negatif bagi Indonesia karena akan dapat mengurangi aktualisasi negara Indonesia dalam dunia internasional bahkan mungkin akan terkucilkan. Namun hal tersebut tidak selalu dapat dianggap benar karena terdapat upaya self help dari negara Indonesia itu sendiri.
            Presiden Soekarno mendirikan Conefo (Konferensi Negara-Negara Kekuatan Baru) sebagai tandingan PBB yang tidak sedikit mendapat dukungan dari negara lain, serta Indonesia melalui presiden Soekarno juga sukses menyelenggarakan Ganefo (tandingan Olimpiade versi Conefo) yang diikuti 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.[12] Fakta tersebut menggambarkan upaya self help negara Indonesia dalam perjuangannya sendiri untuk mempertahankan aktualisasi dirinya di dunia internasional dan menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara yang masih disegani di dunia internasional walaupun sudah keluar dari keanggotaan organisasi internasional PBB.






VI.       KESIMPULAN
            Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia untuk keluar dari keanggotaan PBB di masa pemerintahan presiden Soekarno lebih ditekankan pada keputusan satu arah dari pemimpin negara (single actor) tersebut berdasarkan persepsi dan pandangan presiden Soekarno terhadap situasi dan kondisi dunia internasional pada waktu itu demi menjaga keamanan dan keutuhan negara Indonesia.
            Faktor penyebab diambilnya keputusan untuk keluar dari PBB secara garis besar didasarkan pada pandangan presiden Soekarno terhadap PBB yang dianggap tidak mampu mewujudkan tujuan PBB untuk menjaga keamanan dunia dan membantu menyelesaikan permasalahan negara-negara anggotanya. Didukung pula dengan upaya-upaya self help negara Indonesia untuk berjuang sendiri agar tetap dapat mengaktualisasikan diri di dunia internasional dan menjadi negara yang tidak terkucilkan namun tetap mampu disegani oleh negara lain walaupun sudah keluar dari keanggotaan PBB.













VII.     DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Eby Hara, Abubakar. 2011. Pengantar ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI: Dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: NUANSA

INTERNET
http://gen-sinfony.blogspot.com/2011/02/peranan-organisasi-internasional-asean.html






[1] Diakses dari http://gen-sinfony.blogspot.com/2011/02/peranan-organisasi-internasional-asean.html
[2] Diakses dari http://www.pustakasekolah.com/indonesia-keluar-dari-pbb.html
[3] Dikutip dari Abu Bakar Eby Hara, Ph.D., “Analisis Politik Luar Negeri:Dari realisme sampai konstruktivisme” hal. 112
[4] Ibid. hal 110
[5] Ibid. hal 36
[6] Diakses dari http://jen1us.blogspot.com/2012/05/sejarah-pbb.html
[7] Diakses dari http://littlejenius.blogspot.com/2012/03/indonesia-vs-malaysia.html
[8] Diakses dari http://www.pustakasekolah.com/indonesia-keluar-dari-pbb.html
[9] Diakses dari http://diaasz.wordpress.com/2010/04/10/latar-belakangsejarah-berdirinya-pbb-perserikatan-bangsa-bangsa/
[10] Diakses dari http://www.pustakasekolah.com/indonesia-keluar-dari-pbb.html
[11] Diakses dari http://lukulo.blogspot.com/2008/01/pembebasan-irian-barat.html
[12] Diakses dari http://hermawayne.blogspot.com/2011/03/fakta-unik-tentang-indonesia.html