Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Sistem Ekonomi Pancasila Dalam Pandangan Religius Spiritual”
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang telah meluangkan waktunya untuk ikut serta dalam menyumbangkan ide-ide untuk kesempurnaan makalah ini serta semua pihak yang telah membantu sehinggga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Jember, Oktober 2010
BAB I PENDAHULUAN
Selama ini Indonesia menggunakan sistem ekonomi pancasila yang dicanangkan oleh Soekarno Hatta dimana sistem ini terbentuk berdasarkan ideologi bangsa Indonesia yaitu ideologi pancasila. Ideologi merupakan doktrin, kepercayaan, dan simbol-simbol satu kelompok masyarakat atau bangsa yang menjadi pedoman atau pegangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa tersebut. Indonesia menggunakan ideologi pancasila karena ideologi ini menyerap nilai moral yang terkandung dalam jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang dianggap mampu membawa bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur, tenteram dan damai.
Berdasarkan penjelasan di atas sudah digambarkan sebagian pandangan religius spiritual terhadap sistem ekonomi pancasila. Beberapa contoh dan gambaran di atas menjadi acuan kami untuk membahas lebih lanjut tentang sistem ekonomi Indonesia dalam pandangan religious spiritual. Dalam bab selanjutkan akan dibahas lebih dalam tentang tentang arti, prinsip-prinsip, serta bagaimana gambaran sebenarnya tentang ekonomi syariah.
Ada lima pokok ajaran ideologi pancasila yaitu :
1. Ketuhanan
2. Kemanusiaan
3. Persatuan
4. Kerakyatan
5. Keadilan sosial.
Berdasarkan lima ajaran itu terbentuklah suatu pedoman untuk menggunakan sistem ekonomi berdasarkan ideologi pancasila. Bangsa Indonesia memakai sistem ekonomi Pancasila.
Adapun tujuan mulia dari Sistem Ekonomi Pancasila yakni :
- Memperkecil jarak kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin atau dengan kata lain mempu mencapai tujuan-tujuan pemerataan.
- Pembangunan nasional untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem Ekonomi Pancasila mempunyai ciri semangat solidaritas sosial untuk mencapai masyarakat yang berkeadilan sosial yaitu sila kelima dari pancasila. Secara teori memang cara kerja sistem ini terlihat sempurna akan tetapi dalam prakteknya sering tidak sesuai dengan sistem itu sendiri. Misalnya ciri-ciri yang ingin kita lihat dalam sistem perekonomian Pancasila itu tidak selalu jelas tetapi kadang-kadang bahkan semakin kabur. Jika kita hubungkan sistem itu dengan agama, ada beberapa hal dalam Sistem Ekonomi Pancasila yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Oleh karena itu harus ada sistem ekonomi lain yang menyempurnakan Sistem Ekonomi Pancasila.
Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenapkemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepatuntuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri,Sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contohperbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yangtidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Tim (1985:139)
Ada keterkaitan antara sistem ekonomi pancasila dengan agama terutama pada sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, dalam menjalankan perekonomian tidak hanya berpedoman kepada ideologi akan tetapi juga pada ajaran agama yang dianut agar tidak rancu karena bagaimanapun juga apapun yang kita lakukan tidak boleh melanggar agama. Sebagian besar bangsa Indonesia beragama islam dan islam mempunyai aturan-aturan yang mengikat untuk mengatur umatnya.
Menurut M.M Metwally “Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al Quran, Hadits Nabi, Ijma dan Qiyas”. Adanya bunga atau riba dalam sistem ekonomi pancasila adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap agama islam karena Riba (bunga) secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut “istilah teknis riba berarti pengambilan dari harta pokok atau modal secara batil” (Antonio, 1999). Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba. Namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Selain agama islam adapula pendapat dari agama lain yang juga banyak penganutnya di Indonesia yakni agama Kristen yang berpendapat bahwa agama Kristen juga menganjurkan kerja keras sebagai syarat kemajuan, yang berarti pembangunan harus mendapat perhatian penting. Inilah ajaran Santo Thomas Aquinas dan Calvin bahwa kerja adalah sekaligus keharusan dan panggilan bagi umat manusia. Ini artinya ajaran semua agama berkaitan penuh dengan Sistem Ekonomi Pancasila. Penjelasan lebih lanjut akan dibahas di bab berikutnya.
Namun karena sebagian besar bangsa Indonesia menganut agama islam maka terbentuklah sistem ekonomi syariah yang merupakan pedoman dari perbankan syariah yaitu suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut meskipun hatinya tidak rela dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya: “Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari)
Dalam Wikipedia (2010), Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilaiekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam
1. Tauhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
3. ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need
fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Fenomena ini memberikan dampak terhadap muslim yakni muslim ingin berinvestasi atau melakukan kegiatan usaha yang memerlukan layanan perbankan syariah seakan sama saja menjadi nasabah bank konvensional. Di sisi lain kita tentu tidak ingin terus menerus terjebak dalam kegiatan riba dengan melakukan transaksi di bank konvensional yang membelenggu masyarakat muslim di Indonesia. Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya bagi hasil (profit and loss sharing). Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama.
Pancasila merupakan suatu ideologi yang dianut dan diterapkan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai luhur yang di yakini bangsa Indonesia dan sampai saat ini nilai-nilai luhur tersebut menjadi suatu bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan bermasyarakat. Dalam pancasila, nilai-nilai yang terkandung senantiasa menjadikan Pancasila sebagai pedoman pemerintah dalam membuat suatu kebijakan, baik itu Undang-Undang maupun kebijakan-kebijakan yang lain.
Menurut Ojanee (2010) “Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang berketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridho Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari dasar ini pula, bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama, apapun agama dan keyakinan mereka”.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, Pancasila sendiri yang sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para pemeluk agama lain di luar Islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila.
· Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
· Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
· Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
· Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
· Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
· Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
· Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
(Lasonearth, 2010)
Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis. Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun. Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila adalah dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi mayoritas-minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan secara damai dan sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara Pancasila akan menjamin kelestarian dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 ayat (1) UUD 1945) serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila” Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain. (Feriamsari, 2009)
Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Dalam alam demokrasi, setiap kebijakan publik seharusnya melibatkan partisipasi publik seluas mungkin. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah agenda politik elit. Sebagaimana telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti mengakui adanya politisasi syariah.
Dalam kehidupan ekonomi, sistem ekonomi syariah dapat dilihat penerapannya, yaitu sebagai berikut:
- Islamic Development Bank (IDB) atau Bank Pembangunan Islam yang tidak menerapkan sistem bunga (interest) dan ternyata mampu bersaing dengan bank-bank kapitalis (barat).
- Bank-bank Islam (Bank Muamalat Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat Syariah, dan lembaga keuangan lain non-bank (pegadaian syariah, dan leasing syariah).
- Pusat-pusat perdagangan berdasarkan syariah.
Adapun nilai-nilai dasar ekonomi syariah menurut A. M. Saefudin sebagaimana dikutip oleh Muhammad Daud Ali, yaitu sebagai berikut.
a. Nilai Dasar Pemilikan
Berdasarkan nilai dasar pemilikan nilai-nilai dasar ekonomi syariah meliputi.
v Pemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya. Seorang muslim yang tidak memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang diamanatkan Tuhan kepadanya. Misalnya, dengan membiarkan lahan atau sebidang tanah tidak diolah sebagaimana mestinya akan kehilangan hak atas sumbersumber ekonomi.
v Lama kepemilikan manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia itu hidup di dunia ini. Jika seorang manusia meninggal dunia, harta kekayaannya dibagikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan yang telah ditentukan Tuhan.
v Sumber daya ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum atau negara atau sekurang-kurangnya dikuasai negara untuk kepentingan umum atau orang banyak.
b. Nilai Dasar Keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang memengaruhi berbagai aspek tingkah laku ekonomi seorang muslim. Asas keseimbangan ini, misalnya, terwujud dalam kesederhanaan, hemat, dan menjauhi pemborosan. Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya bukan saja antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat dalam ekonomi. Namun, keseimbangan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum. Di samping itu, harus juga dipelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c. Nilai Dasar Keadilan
Dalam Islam, keadilan adalah titik tolak sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan sebagai berikut.
v Keadilan itu harus diterapkan pada semua bidang kehidupan ekonomi. Dalam proses produksi dan konsumsi, misalnya, keadilan harus menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantasan keborosan.
v Keadilan juga berarti kebijaksanaan mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar. Misalnya, melalui zakat, infak, dan sedekah (pemberian yang ikhlas yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan baik jenis, jumlah, maupun waktunya).
Adapun nilai-nilai instrumental dalam sistem ekonomi syariah, yaitu sebagai berikut.
1. Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu. Zakat merupakan sarana komunikasi utama antara manusia dan manusia lain dalam masyarakat.
2. Kerja Sama Ekonomi
Kerja sama merupakan watak masyarakat ekonomi menurut ajaran Islam. Kerja sama tersebut harus tercermin dalam segala tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi, baik barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerja sama yang sesuai dengan ajaran Islam adalah girad, yaitu kerja sama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha yang memiliki keahlian, keterampilan atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit ekonomi atau usaha.
Ajaran kerja sama dalam ajaran ekonomi syariah bertujuan:
v menciptakan kerja sama produktif dalam kehidupan bermasyarakat;
v meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kemiskinan masyarakat;
v mencegah penindasan ekonomi (distribusi kekayaan) yang tidak merata;
v melindungi kepentingan golongan ekonomi lemah.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kaitan antara sistem pancasila dan sistem Syariah terdapat pada penjelasan di bawah
Peranan negara umumnya pemerintah pada khususnya sangat menentukan dalam pelaksanaan nilai-nilai sistem ekonomi syariah. Peranan itu diperlukan dalam aspek hukum, perencanaan, dan pengawasan alokasi atau distribusi.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi bangsa Indonesia pada tahun 1945 oleh soekarno,pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelekan oleh poltikus dan agamawan.
Dari perdebatan-perdebatan inilah menimbulkan beberapa pendapat dari beberapa tokoh islam mengenai hubungan antara islam dan negara,,atau pancasila dengan syariah.
Pendapat-pendapat tersebut di antaranya yang dikemukakan oleh Munawir Sjadzali, menurutnya, ada tiga kategori dalam memandang hubungan islam dan negara,yakni:
a. Aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termsuk kehidupan bernegara
b. Integratif modernis, yang berpendapat bahwa islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi didalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara.
c. Nasionalis sekuler
Dari ketiga tersebut, dapat di tarik kesimpulan, pada dasarnya islam dengan negara tidak dapat di pisahkan. Dalam hal ini, Munawir Sjadzali merupakan termsuk dari modernis, dalam hal ini lebih suka memposisikan nya sebagai tokoh modernis
Pendapat-pendapat lainnya dikemukakan oleh Gus Dur, menurutnya apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang baik, melainkan konflik horizontal. Gus Dur termasuk pemikiran yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu poltik, budaya, dan agama) dengan tetap setia pada posisi konseravatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran Al-qur’an tidak perlu di ganggu gugat.
Selain itu, menurut nya, islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhlaf, bay’ah, dan al-Halli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkosisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.
Atas dasar inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada etika sosial.
Suatu Integrasi anatara kemajemukan, demokrasi, Islam, dan Nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakabgi keikutsertaan Islam dalam diskurkus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.
Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistim ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.
A. Perbedaan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional
Krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil. Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
B. Ciri Khas Ekonomi Syariah
Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur'an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
· Kesatuan (unity)
· Keseimbangan (equilibrium)
· Kebebasan (free will)
· Tanggungjawab (responsibility)
· Tujuan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah.
2.3 Prinsip-Prinsip Dasar
a. Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan), sedangkan menurut istilah teknis, Riba berarti pengambilan dari harta pokok/modal secccara batil. (Antonio, 1999). Secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil/bertentangan dengan Prinsip Muamalah dalam Islam.
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah Riba utang-piutang dan Riba jual beli. Riba utang-piutang dibagi menjadi Riba Qardh dan Riba Jahilyyah. Adapun Riba jual beli terbagi lagi menjadi Riba Fadhl dan Riba Nasiah.
b. Zakat
Zakat merupakan instrumen keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin/ sama-sama kaya. Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam dalam bentuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaaaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslim mampu menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
c. Haram
Sesuatu yang diharamkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah S.W.T sesuai yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Maka, untuk memastikan bahwa praktek dan aktivitas keuangan syariah tidak bertentangan dengan hukum Islam, diharapkan lembaga keuangan Syariah membentuk Dewan Penyelia Agama/Dewan Syariah. Dewan Syariah ini beranggotakan para ahli hukum Islam yang bertindak sebagai auditor dan penasehat syariah yang independen. Selain itu, lembaga keuangan syariah juga didorong untuk memprioritaskan produksi barang-barang primer untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.
d. Gharar dan Maysir
Al-Qur’an melarang tegas segala bentuk perjudian (QS. 5:90-91). Al-Qur’an menggunakan kata masyir untuk perjudian, berasal dari kata USR (kemudahan dan kesenangan). Hukum Islam menetapkan bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis, pengayaan diri melalui permainan judi harus dilarang.
e. Takaful
Takaful adalah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa arab kalafa, yang berarti memperhatikan kebutuhan seseorang. Pada hakikatnya konsep takaful didasarkan pada rasa solidaritas, responbilitas, dan persaudaraan antara anggota yang bersepakat untuk bersama-sama menanggung kerugian tertentu yang dibayar dari aset yang telah ditetapkan. Dengan demikian, praktek ini sesuai dengan apa yang disebut dalam konteks yang berbeda sebagai asuransi bersama (mutual insurance), karena para anggotanya menjadi penjamin (insurer) dan juga yang terjamin (insured).
Prinsip Bagi Hasil
Gagasan dasar Sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya bagi hasil (Profit and Sharing). Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama. Ada dua model bagi hasil yang lebih disukai dalam hukum Islam, yaitu:
Mudharabah (Investasi)
Mudharabah dipaham sebagai kontrak antara paling sedikit dua pihak, yaitu pemilik modal (shahib al mal atau rabb al mal) yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain , dalam Mudharabah, pemilik modal tidak mendapat peran dalam manajemen. Jadi Mudharabah adalah kontrak bagi hasil yang memberi pemodal suatu bagian tertentu dari keuntungan atau kerugian proyek yang mereka biayai (Algaoud and Lewis, 2007)
Musyarakah (Kemitraan)
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sistem Ekonomi Islam Berbasis Sektor Riil
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti atau terikat dengan sektor riil. Dalam pandangamn Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara.
Sistem Ekonomi Islam Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.
1. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah.
2. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.
Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).
3. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.
4. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.
Yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.
Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi. Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia Muslim dan non-Muslim tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Dua jenis perekonomian yang pernah dilaksanakan di negara Indonesia adalah ekonomi liberal dan ekonomi komando. Setiap jenis perekonomian tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan. Kelemahannya yaitu jenis perekonomian ini terlalu merugikan dan liberal di satu pihak, kemudian terlalu bersifat komando di pihak lain. Hal ini telah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa sistem ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi yang sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia pada saat menyatakan kemerdekaan, benar-benar perlu dilaksanakan secara konsekuen. Sistem ekonomi Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Mubyarto, yaitu sistem ekonomi yang khas (berjati diri) Indonesia yang digali dan dikembangkan berdasarkan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia. Ekonomi Pancasila berpijak pada kombinasi antara gagasangagasan normatif dan fakta-fakta empirik yang telah dirumuskan oleh bangsa Indonesia dalam wujud sila-sila dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan pasal-pasal (ekonomi) UUD 1945, yaitu pasal 27, 33, dan 34.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang mengacu pada sila-sila dalam Pancasila yang terwujud dalam lima landasan ekonomi, yaitu ekonomi moralistik (ber-Ketuhanan), ekonomi kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), dan diarahkan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, Boediono dalam bukunya Ekonomi Pancasila yang mengkaji masalah pengendalian makro dalam ekonomi Pancasila. Pokok permasalahan yang dibahas adalah bagaimana corak dari cara-cara pengendaliannya. Permasalahan makro di sini dibatasi permasalahan makro jangka pendek, yaitu inflasi, pengangguran, dan ketimpangan neraca pembayaran.
Boediono memulai dengan menonjolkan lima ciri dari perekonomian Pancasila yang memiliki kaitan langsung dengan masalah ekonomi makro beserta cara pengendaliannya, kelima ciri khas tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Peranan dominan dari koperasi, bersama dengan perusahaanperusahaan negara dan perusahaan swasta.
b. Memandang manusia secara utuh. “… manusia bukan ‘economic man’ tetapi juga ‘social and religious man’ dan sifat manusia yang terakhir ini bisa dilambangkan setaraf dengan sifat yang pertama sebagai motor penggerak kegiatan duniawi (ekonomi).
c. Adanya “kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan sosial”.
d. Diberikannya prioritas utama pada terciptanya suatu “perekonomian nasional” yang tangguh. Konsep “perekonomian nasional” ditafsirkan sebagai pemupukkan ketahanan nasional dan pemberian prioritas utama pada kepentingan nasional untuk mencapai suatu perekonomian yang mandiri, tangguh dan terhormat di arena internasional dan yang didasarkan atas solidaritas dan harmoni dalam negeri.
e. “Pengendalian pada sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatankegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi dicerminkan dalam cita-cita koperasi”.
Boediono kemudian menarik implikasi dari lahirnya ciri tersebut bagi permasalahan dan pengendalian makro dan menyimpulkan antara lain bahwa inflasi masih bisa timbul karena ciri desentralisasi dari ekonomi Pancasila. Namun berbeda dengan sistem-sistem lain, dalam sistem ekonomi Pancasila terdapat stabilitas ekonomi yang lebih baik karena adanya keempat ciri lain tersebut. Dalam ekonomi Pancasila, patriotisme, dan tindakan-tindakan lain yang biasanya dianggap bukan instrumen kebijakan ekonomi, bisa berperan sangat penting dalam pengendalian makro. Para pelaku ekonomi dalam perekonomian ini lebih responsif terhadap hal semacam ini dibanding dengan para pelaku ekonomi dalam perekonomian yang dilandaskan pada materialisme semata-mata.
Banyak yang mengatakan bahwa Asuransi Syariah atau ada yang menyebutnya Asuransi Islam atau bisa juga asuransi taawun, tidak jauh berbeda dengan Asuransi biasa yang selama ini sudah dikenal tanpa embel-embel syariah, yang intinya ialah suatu pertanggungan dari perusahaan Asuransi berupa sejumlah uang dalam jumlah tertentu kepada peserta bila mengalami musibah ( resiko ), melalui pembayaran konstribusi ( premi ) dari peserta. Perbedaannya barangkali hanya masalah halal dan haram, serta istilah-istilah arab yang melekat di dalamnya.
Munculnya asuransi syariah pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994.
Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan syariah yang sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat.
Setelah Asuransi Takaful Umum dibuka, selanjutnya sejumlah lembaga ikut mendirikan asuransi syariah, yakni Asuransi Syariah Mubarakah, Asuransi Jiwa Asih Great Eastern, MAA Life Insurance, Asuransi Bringin Jiwa Sejahtera, dan pada akhir 2002 didirikan cabang syariah Asuransi Tri Pakarta.
Prinsip pertama yang harus dijalankan oleh asuransi syariah adalah Takaful, yang berarti saling menanggung, lalu prinsip Ta’awwun yang berarti saling menolong, selanjutnya prinsip menghindari yang tidak sesuai dengan syariah. Yang harus dihindari itu yakni Riba atau bunga, lalu Maisir yang berarti bersifat gambling atau untung-untungan, dan selanjutnya Ghoror yang berarti ketidakjelasan, penipuan atau membeli kucing dalam karung. Hal yang harus dihindari yakni Zhulm atau zalim, yakni menghindari ada pihak yang dirugikan di salah satu pihak. Dalam akad akan terlihat semuanya, dan ini menjadi prinsip utama.
Perbedaan operasional asuransi syariah dengan asuransi konvensional bisa terlihat pada dua prinsip dasarnya, yakni pada bentuk akad. Cara akad yang diutamakan dalam Islam yakni Tabarru’, atau derma atau hibah. Jadi premi yang diserahkan kepada perusahaan harus diniatkan sebagai Tabarru’. Sementara di asuransi konvensional, akad dalam menjual atau membeli polis adalah akad jual beli.
Pada asuransi syariah, premi adalah dana yang dihibahkan atau dengan kata lain adalah Tabarru’ untuk Ta’awwun peserta lainnya. Sehingga di sini terjadi tindakan saling menanggung. Sejak awal premi diniatkan sebagai Tabarru’.
Selanjutnya pada operasional juga terlihat perbedaan, dalam asuransi syariah pengawasan dilakukan oleh Dewan Syariah, karena perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dari nasabah untuk dikelola. Sedangkan di konvensional tak ada pengawasan penggunaan dana nasabah karena dana premi dinilai milik perusahaan.
Untuk membuktikan bahwa munculnya perusahaan asuransi berlandaskan syariah sebagai market driven, atau muncul atas adanya permintaan dari masyarakat, perusahaan konsultan lembaga keuangan syariah Karim Business Consulting (KBC), melakukan riset terhadap 58 perusahaan asuransi di Indonesia.
Lewat riset yang dilakukannya, KBC, seperti dikemukakan oleh Presdirnya, Ir. H Adiwarman A Karim SE, MBA, menyimpulkan bahwa pada tahun 2003 usaha asuransi akan diramaikan dengan asuransi syariah atau divisi syariah.
Dalam risetnya, KBC meneliti tiga kelompok nasabah asuransi, yakni :
1. Conventional loyalist, orang-orang yang loyal pada sistem asuransi konvensional, yang tidak mungkin bisa dibujuk dengan cara apapun untuk mengalihkan preminya ke asuransi syariah.
2. Sharia loyalist, orang-orang yang sampai saat ini tidak mau membeli asuransi karena alasan syariah.
3. Variety seeking behavior market. Mereka adalah kelompok yang biasa membeli produk unit link., usia antara 35-55 tahun, memiliki cash flow sendiri, dan tertarik dengan program asuransi yang mempunya side benefit.
Di dalam kelompok variety seeking behavior, masih terdapat kelompok kecil Young ethical conscious market. Mereka adalah kelas pekerja berusia anatara 25-35 tahun, yang tidak terlalu fokus pada pendapatan hasil investasi, namun cukup semangat untuk mengembangkan asuransi syariah. Kelompok kecil ini memiliki potential switching atau potensi pengalihan premi ke syariah 1,0 -/-. Artinya selama asuransi syariah bisa memberikan paling tidak sama dengan asuransi konvensional, mereka dipastikan akan beralih.
Selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan terhadap 58 perusahaan, berhasil diketahui potential switching dari kelompok variety seeking behavior, yakni berkisar dari minimal 5% hingga maksimal 20%. Artinya mereka mau memindahkan 5% hingga 20% dari total premi yang mereka bayarkan ke asuransi syariah.
Kendati tidak semua perusahaan bisa diperoleh perkiraan karakteristik nasabahnya, namun dari perhitungan kasar tadi diperoleh potential premi bruto tiap perusahaan, maka potensial premi yang bisa dialihkan untuk produk syariah adalah sebesar Rp 966,6 miliar.
Analisa
Jika potensi ini ditambah dari kalangan Young ethical market yang jika dihitung-hitung potensial switchingnya bisa mencapai Rp102 miliar, serta dari pasar sharia loyalist yang potensial switchingnya bisa mencapai Rp 107,625 miliar, maka potensi premi yang bisa diraih oleh perusahaan asuransi syariah adalah sebesar Rp 1.176 triliun.
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa, perusahaan-perusahaan asuransi akan berlomba-lomba membuka asuransi syariah karena pasar variety seeeking behavior yang dibidik. Kalau selama ini Takaful dan Mubarakah dalam asuransi syariah pasarnya kecil, itu karena mereka bermain di pasar loyalis dan young ethical.
Dapat diramalkan, pada tahun-tahun mendatang, syariah hanya akan menjadi sub tema, dan hanya menjadi swetener. Kalau syariah menjadi main theme, maka dapat dipastikan hanya akan bermain di pasar loyalis.
Negara kita menerapkan sistem ekonomi yang disebut dengan Sistem Ekonomi Pancasila. Namun dalam sistem ini tidak selalu jelas bahkan semakin kabur. Jika kita hubungkan sistem itu dengan agama, terutama agama Islam yang merupakan agama mayoritas yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia, ada beberapa hal dalam Sistem Ekonomi Pancasila yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Oleh karena itu harus ada sistem ekonomi lain yang menyempurnakan Sistem Ekonomi Pancasila yang sekarang diterapkan di Indonesia.
Salah satu sistem ekonomi yang dapat menyempurnakan Sistem Ekonomi Pancasila yaitu sistem ekonomi Syariah yang berbasis pada ajaran Islam. Sebagai contoh, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis, yang berpendapat bahwa kesejahteraan rakyat dibangun dengan menghapuskan status “miskin” atau “kaya” sehingga tidak ada yang kaya maupun yang miskin, semua sama rata. Namun dalam Sistem Ekonomi Pancasila masih menggunakan asas riba yang notebene dalam ajaran Islam merupakan hal yang dilarang (haram hukumnya, dan apabila dilakukan berdosa). Hal ini merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap agama islam karena Riba (bunga) secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan).
Namun karena bangsa Indonesia mempunyai masyarakat yang majemuk dengan berbagai agama (tidak hanya Islam saja namun terdapat agama-agama lain) dan kebudayaan yang berbeda, maka hanya intisari yang ada dalam sistem ekonomi syariah-lah yang di pakai serta intisari dan kelebihan-kelebiha dari sistem eknomi sosialis dan kapitalis dirangkai menjadi satu menjadi Sistem Ekonomi Pancasila dengan kekeluargaan sebagai basisnya yang sekarang diterapkan di Indonesia.