Dalam
menganalisis suatu konflik dalam tugas minggu lalu, kita dituntut mengacu pada
beberapa teori konflik seperti teori tingkat individu, teori sosio-biologi,
teori pembelajaran sosial, teori identitas sosial, teori masyarakat dan teori
kebutuhan dasar manusia. salah satu contoh bentuk konflik yang saya ambil
adalah konflik etnis yang terjadi di negara Rwanda antara suku Hutu dan suku
Tutsi. Saya menggunakan teori masyarakat sebagai dasar sudut pandang dalam
menganalisis konflik etnis yang terjadi di Rwanda tersebut.
Dalam kaitannya dengan analisis konflik, terdapat suatu
metode yang disebut pemetaan konflik. Menurut Fisher pemetaan konflik meliputi
pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak - pihak yang ada.
Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik
secara grafis, menghubungkan pihak - pihak dengan masalah dan dengan pihak
lainnya[1].
Berdasarkan penjelasan kuliah minggu lalu, terdapat suatu model pemetaan
konflik multidisipliner yang dikembangkan oleh sosiolog dari United
Nations-University for Peace, Amr Abdalla, yaitu model SIPABIO dan juga
SPITCEROW yakni (Source, Parties, Issue, Tactics, Changes, Enlargement,
Resources, Outcome, dan Winner/Looser)
SIPABIO ini merupakan singkatan dari
Source, Issue, Parties, Attitudes, Behavior, Intervention, dan Outcome. Berikut
penjelasan masing-masing elemen dari SIPABIO tersebut:
·
Source (sumber konflik). Konflik
disebabkan oleh sumber – sumber yang berbeda sehingga melahirkan tipe – tipe
konflik yang berbeda. Jika kita kembali pada analisis sosiologi konflik,
berbagai sumber konflik tersebut bisa muncul dari model hubungan sosial
(analisis konstruksi sosial), nilai –nilai seperti identitas dan agama
(analisis Coser), dan dominasi structural (analisis structural positivis dan
kritis).
·
Issues (isu-isu). Isu menunjuk pada
saling keterkaitan tujuan – tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai.
Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak
teridentifikasi tentang sumber – sember konflik.
·
Parties (pihak). Pihak berkonflik adalah
kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflk utama yang
langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara
langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak
berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan
sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik.
·
Attitudes / felling (sikap). Sikap
adalah perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap
bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik.
·
Behavior (perilaku / tindakan). Perilaku
adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk
coercive action dan noncoercive action.
·
Intervention (campur tangan pihak lain).
Intervesi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk
membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian.
·
Outcome (hasil akhir). Outcome adalah
dampak dari berbagai tindakan pihak – pihak berkonflik dalam bentuk situasi[2].
Dalam
tugas kuliah kali ini, kita dituntut menganalisis konflik dengan menggunakan
salah satu metode baik itu SIPABIO maupun SPITCEROW. Dalam tugas saya kali ini,
saya tetap menggunakan contoh kasus minggu lalu yakni konflik etnis yang
terjadi di Rwanda. Saya menggunakan metode SIPABIO untuk menganalisis konflik
tersebut. Dalam hal ini saya akan menganalisis konflik etnis di Rwanda tersebut
dengan berdasar pada poin-poin dalam metode SIPABIO tersebut.
Poin
yang pertama yakni Source yang berarti sumber, dalam hal ini adalah sumber
konflik. Sesuai penjelasannya bahwa sumber konflik yang berbeda akan melahirkan
konflik yang berbeda pula. Sumber-sumber konflik itu salah satunya meliputi
nilai-nilai seperti identitas, dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di
Rwanda ini perbedaan identitas antara pelaku konflik dalam hal ini adalah etnis,
dimana konflik terjadi antara sekelompok manusia yang mengatasnamakan etnis
Hutu dan etnis Tutsi. Suku Hutu merupakan penduduk mayoritas yang tinggal di
negara Rwanda dengan jumlah penduduk mencapai prosentase 85% dari 7,4 juta jiwa
penduduk negara Rwanda, sedangkan Etnis Tutsi sendiri merupakan masyarakat
dusun yang sudah menetap di negara Rwanda sejak awal abad 15 dengan Jumlah
penduduk hanya 14% dari jumlah keseluruhan jumlah penduduk[3].
Sumber
konflik lainnya adalah model hubungan sosial (analisis konstruksi sosial)
dimana dalam kasus Rwanda ini kostruksi sosial yang terjadi adalah adanya
stratifikasi etnis. Walaupun sebagai penduduk yang jumlahnya minoritas namun
pada masa masuknya kolonial eropa yakni datangnya negara kolonial Belgia,
Belgia lebih memihak pada etnis Tutsi karena etnis Tutsi sebagai penduduk
minoritas dinilai memiliki keadaan fisik yang lebih baik daripada etnis Hutu
dan memberikan kekuasaan kepada suku Tutsi.
Poin
yang kedua yakni Issues (isu-isu). Berdasarkan penjelasannya, isu menunjuk pada
saling keterkaitan tujuan - tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai
dan isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak
teridentifikasi. Dalam kasus Rwanda ini, isu yang muncul dan juga merupakan
salah satu penyebab terjadinya konflik adalah isu kematian presiden Habyarimana
selaku presiden dari etnis Hutu setelah pemerintahan Rwanda dipegang oleh etnis
Hutu pasca dekolonisasi Belgia. Isu tersebut menyebutkan bahwa pelaku
pembunuhan presiden Habyarimana dilakukan oleh orang suruhan dari etnis Tutsi.
Isu
tersebut dibuat oleh suku Hutu sendiri terutama dari kaum ekstrimis Hutu karena
menolak misi presidennya. Bahkan kemungkinan sebenarnya peristiwa pembunuhan
presiden Habyarimana itu sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis demi
melancarkan rencana mereka membantai suku Tutsi[4].
Misi presiden untuk menciptakan negara multietnis di Rwanda, yang memungkinkan
memberikan kesempatan kembali pada etnis Tutsi untuk masuk dalam pemerintahan
inilah yang tidak disetujui atau tidak sejalan dengan tujuan kalangan ekstrimis
Hutu yang ingin tetap mempertahankan pemerintahan satu suku.
Poin
yang ketiga adalah Parties yang berarti pihak berkonflik. Dalam hal ini adalah
kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflk utama yang
langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung
berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan
kepentingan konflik yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk
mengintervensi konflik. Dalam konflik di Rwanda pihak utama yang berkonflik
adalah etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pihak sekunder yang tidak secara langsung
berhubungan dengan kepentingan adalah negara-negara tetangga dari Rwanda dimana
menjadi tempat pengungsian etnis Tutsi, salah satunya negara Uganda yang bahkan
menjadi pusat Rwandan Patriotic Front (RPF) yang merupakan gerakan pemberontak
bentukan etnis Tutsi[5].
Pihak tersier dalam konflik Rwanda ini adalah PBB yang menunjuk salah satu
Jenderal bernama Romeo Dallaire untuk dikirim dengan beberapa pasukan oleh PBB demi
membantu meredam konflik Rwanda[6].
Poin
yang keempat adalah Attitudes / felling dalam hal ini adalah sikap, yakni perasaan
dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam
bentuk yang positif dan negatif bagi konflik. Dalam kasus konflik di Rwanda,
attitudes dijelaskan dengan adanya perasaan dendam serta persepsi buruk dari
suku Hutu terhadap suku Tutsi. Perasaan tersebut muncul sebagai bentuk dendam
setelah hal yang dialami etnis Hutu pada masa Rwanda diduduki Belgia. Etnis
Hutu termarjinalisasikan sehingga muncul kecemburuan sosial pada etnis Tutsi.
Perasaan dendam dan persepsi yang buruk terhadap etnis Tutsi inilah yang
menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik etnis di Rwanda, bahkan
berujung pada terjadinya genosida.
Poin
yang kelima adalah Behavior (perilaku / tindakan). Perilaku adalah aspek tindak
sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan
noncoercive action. Dalam konflik Rwanda ini terdapat tindakan koersif yakni
terjadinya genosida yang memakan ratusan ribu korban jiwa. Pembantaian
besar-besaran terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu pada saat momentum
terbunuhnya presiden Habyarimana. Hal tersebut dijadikan alasan oleh ekstrimis
Hutu untuk membantai etnis Tutsi. Sedangkan tindakan non koersif ditandai
dengan adanya upaya perundingan dan perjanjian yang dilakukan etnis Tutsi
melalui gerakan RPF (Rwanda Patriotic Front) dengan presiden Habyarimana yang
memang bercita-cita menciptakan negara multietnis di Rwanda.
Etnis
Tutsi meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden
akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi
dalam pemerintahan[7].
Namun perjanjian tersebut tidak terimplementasi dengan baik karena adanya
pertentangan keras dari ekstrimis etnis Hutu yang menolak kebijakan tersebut.
Poin
yang keenam adalah Intervention (campur tangan pihak lain). Intervesi adalah
tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan
konflik menemukan penyelesaian. Dalam kasus ini adalah pihak tersier yakni PBB sebagai
organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke
Rwanda. PBB membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi
ini bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut
UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872 (1993) pada
5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian Arusha[8].
Namun upaya intervensi PBB guna menciptakan perdamaian di Rwanda ini gagal
dengan tetap terjadinya genosida di Rwanda. Hal ini disebabkan karena kurangnya
personil pasukan dari pihak PBB dan tidak adanya bantuan tambahan pasukan dari
negara-negara anggota DK PBB.
Poin
yang ketujuh atau yang terakhir adalah Outcome (hasil akhir). Outcome adalah
dampak dari berbagai tindakan pihak - pihak berkonflik dalam bentuk situasi.
Poin yang terakhir dari metode SIPABIO ini berdasarkan pemahaman saya lebih
menekankan pada situsasi akhir dari konflik yang berlangsung. Dalam kasus
konflik etnis di Rwanda situasi akhir terutama setelah ada campur tangan PBB
sebagai upaya perdamaian, dimana awalnya dianggap gagal karena tidak dapat
mencegah terjadinya genosida. Setelah terjadi genosida tersebut memicu tindak
balasan dari etnis Tutsi dalam bentuk pemberontakan yang juga memakan banyak
korban. Hingga akhirnya kemudian terjadi kudeta pada tahun 2007 sehingga
pemerintahan dapat direbut kembali oleh suku Tutsi. Saat ini Rwanda adalah
salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut
perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991[9].Perdana
Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta
berharap pemerintahnya akan dapat menerima bantuan dana dari dunia
Internasional untuk membangun pemerintahan serta negaranya. Namun bantuan dana
dari dunia Internasional tidak kunjung datang karena dipersulit dengan adanya
birokrasi yang berbelit-belit.
Sehingga
dalam konflik etnis di Rwanda ini dapat dilihat bahwa peran dunia Internasional
melalui PBB ini sebenarnya kurang maksimal dalam upayanya menyelesaikan
konflik. Terlihat dari keengganan negara-negara Anggota DK PBB untuk memberikan
bantuan pasukan ke Rwanda sebelum terjadinya genosida, justru mereka hanya
membantu upaya evakuasi warga negara asing yang ada di Rwanda agar tidak
terjadi korban konflik juga. Di sisi pendanaan komunitas Internasional juga
tidak kunjung mengucurkan dana bantuan pembangunan justru hanya menekankan pada
penduduk Rwanda agar menghindari tindak kekerasan, padahal secara logika
manusia keadaan dimana perut lapar dan kondisi miskin maka manusia cenderung
akan bertindak agresif mengarah kekerasan untuk mendapatkan apa saja yang
mereka inginkan.
[2] Linda Dwi Eriyanti ,S.Sos, M.Si,
Materi kuliah Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik
[3] Diakses dari http://acakanblog.blogspot.com/2010/12/rwanda.html
[4] Diakses dari
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[5] Diakses dari
http://adityahandaka.blogspot.com/2012/04/hukum-internasional_17.html
[6] Diakses dari
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[7] Diakses dari
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[8] Diakses dari
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[9] Diakses dari
http://adityahandaka.blogspot.com/2012/04/hukum-internasional_17.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar