Entri Populer

Sabtu, 02 Februari 2013

Metode Pemetaan Konflik SIPABIO


Dalam menganalisis suatu konflik dalam tugas minggu lalu, kita dituntut mengacu pada beberapa teori konflik seperti teori tingkat individu, teori sosio-biologi, teori pembelajaran sosial, teori identitas sosial, teori masyarakat dan teori kebutuhan dasar manusia. salah satu contoh bentuk konflik yang saya ambil adalah konflik etnis yang terjadi di negara Rwanda antara suku Hutu dan suku Tutsi. Saya menggunakan teori masyarakat sebagai dasar sudut pandang dalam menganalisis konflik etnis yang terjadi di Rwanda tersebut.
            Dalam kaitannya dengan analisis konflik, terdapat suatu metode yang disebut pemetaan konflik. Menurut Fisher pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai aspirasi dari pihak - pihak yang ada. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak - pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya[1]. Berdasarkan penjelasan kuliah minggu lalu, terdapat suatu model pemetaan konflik multidisipliner yang dikembangkan oleh sosiolog dari United Nations-University for Peace, Amr Abdalla, yaitu model SIPABIO dan juga SPITCEROW yakni (Source, Parties, Issue, Tactics, Changes, Enlargement, Resources, Outcome, dan Winner/Looser)
            SIPABIO ini merupakan singkatan dari Source, Issue, Parties, Attitudes, Behavior, Intervention, dan Outcome. Berikut penjelasan masing-masing elemen dari SIPABIO tersebut:
·         Source (sumber konflik). Konflik disebabkan oleh sumber – sumber yang berbeda sehingga melahirkan tipe – tipe konflik yang berbeda. Jika kita kembali pada analisis sosiologi konflik, berbagai sumber konflik tersebut bisa muncul dari model hubungan sosial (analisis konstruksi sosial), nilai –nilai seperti identitas dan agama (analisis Coser), dan dominasi structural (analisis structural positivis dan kritis).
·         Issues (isu-isu). Isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan – tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai. Isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi tentang sumber – sember konflik.
·         Parties (pihak). Pihak berkonflik adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflk utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Pihak tersier ini yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik.
·         Attitudes / felling (sikap). Sikap adalah perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik.
·         Behavior (perilaku / tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action.
·         Intervention (campur tangan pihak lain). Intervesi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian.
·         Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak – pihak berkonflik dalam bentuk situasi[2].
           
            Dalam tugas kuliah kali ini, kita dituntut menganalisis konflik dengan menggunakan salah satu metode baik itu SIPABIO maupun SPITCEROW. Dalam tugas saya kali ini, saya tetap menggunakan contoh kasus minggu lalu yakni konflik etnis yang terjadi di Rwanda. Saya menggunakan metode SIPABIO untuk menganalisis konflik tersebut. Dalam hal ini saya akan menganalisis konflik etnis di Rwanda tersebut dengan berdasar pada poin-poin dalam metode SIPABIO tersebut.
            Poin yang pertama yakni Source yang berarti sumber, dalam hal ini adalah sumber konflik. Sesuai penjelasannya bahwa sumber konflik yang berbeda akan melahirkan konflik yang berbeda pula. Sumber-sumber konflik itu salah satunya meliputi nilai-nilai seperti identitas, dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di Rwanda ini perbedaan identitas antara pelaku konflik dalam hal ini adalah etnis, dimana konflik terjadi antara sekelompok manusia yang mengatasnamakan etnis Hutu dan etnis Tutsi. Suku Hutu merupakan penduduk mayoritas yang tinggal di negara Rwanda dengan jumlah penduduk mencapai prosentase 85% dari 7,4 juta jiwa penduduk negara Rwanda, sedangkan Etnis Tutsi sendiri merupakan masyarakat dusun yang sudah menetap di negara Rwanda sejak awal abad 15 dengan Jumlah penduduk hanya 14% dari jumlah keseluruhan jumlah penduduk[3].
            Sumber konflik lainnya adalah model hubungan sosial (analisis konstruksi sosial) dimana dalam kasus Rwanda ini kostruksi sosial yang terjadi adalah adanya stratifikasi etnis. Walaupun sebagai penduduk yang jumlahnya minoritas namun pada masa masuknya kolonial eropa yakni datangnya negara kolonial Belgia, Belgia lebih memihak pada etnis Tutsi karena etnis Tutsi sebagai penduduk minoritas dinilai memiliki keadaan fisik yang lebih baik daripada etnis Hutu dan memberikan kekuasaan kepada suku Tutsi.
            Poin yang kedua yakni Issues (isu-isu). Berdasarkan penjelasannya, isu menunjuk pada saling keterkaitan tujuan - tujuan yang tidak sejalan di antara pihak bertikai dan isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak lain yang tidak teridentifikasi. Dalam kasus Rwanda ini, isu yang muncul dan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik adalah isu kematian presiden Habyarimana selaku presiden dari etnis Hutu setelah pemerintahan Rwanda dipegang oleh etnis Hutu pasca dekolonisasi Belgia. Isu tersebut menyebutkan bahwa pelaku pembunuhan presiden Habyarimana dilakukan oleh orang suruhan dari etnis Tutsi.
            Isu tersebut dibuat oleh suku Hutu sendiri terutama dari kaum ekstrimis Hutu karena menolak misi presidennya. Bahkan kemungkinan sebenarnya peristiwa pembunuhan presiden Habyarimana itu sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis demi melancarkan rencana mereka membantai suku Tutsi[4]. Misi presiden untuk menciptakan negara multietnis di Rwanda, yang memungkinkan memberikan kesempatan kembali pada etnis Tutsi untuk masuk dalam pemerintahan inilah yang tidak disetujui atau tidak sejalan dengan tujuan kalangan ekstrimis Hutu yang ingin tetap mempertahankan pemerintahan satu suku.
            Poin yang ketiga adalah Parties yang berarti pihak berkonflik. Dalam hal ini adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak konflk utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik yang sering dijadikan sebagai pihak netral untuk mengintervensi konflik. Dalam konflik di Rwanda pihak utama yang berkonflik adalah etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pihak sekunder yang tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan adalah negara-negara tetangga dari Rwanda dimana menjadi tempat pengungsian etnis Tutsi, salah satunya negara Uganda yang bahkan menjadi pusat Rwandan Patriotic Front (RPF) yang merupakan gerakan pemberontak bentukan etnis Tutsi[5]. Pihak tersier dalam konflik Rwanda ini adalah PBB yang menunjuk salah satu Jenderal bernama Romeo Dallaire untuk dikirim dengan beberapa pasukan oleh PBB demi membantu meredam konflik Rwanda[6].
            Poin yang keempat adalah Attitudes / felling dalam hal ini adalah sikap, yakni perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. Sikap bisa muncul dalam bentuk yang positif dan negatif bagi konflik. Dalam kasus konflik di Rwanda, attitudes dijelaskan dengan adanya perasaan dendam serta persepsi buruk dari suku Hutu terhadap suku Tutsi. Perasaan tersebut muncul sebagai bentuk dendam setelah hal yang dialami etnis Hutu pada masa Rwanda diduduki Belgia. Etnis Hutu termarjinalisasikan sehingga muncul kecemburuan sosial pada etnis Tutsi. Perasaan dendam dan persepsi yang buruk terhadap etnis Tutsi inilah yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik etnis di Rwanda, bahkan berujung pada terjadinya genosida.
            Poin yang kelima adalah Behavior (perilaku / tindakan). Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak berkonflik, baik muncul dalam bentuk coercive action dan noncoercive action. Dalam konflik Rwanda ini terdapat tindakan koersif yakni terjadinya genosida yang memakan ratusan ribu korban jiwa. Pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tutsi oleh etnis Hutu pada saat momentum terbunuhnya presiden Habyarimana. Hal tersebut dijadikan alasan oleh ekstrimis Hutu untuk membantai etnis Tutsi. Sedangkan tindakan non koersif ditandai dengan adanya upaya perundingan dan perjanjian yang dilakukan etnis Tutsi melalui gerakan RPF (Rwanda Patriotic Front) dengan presiden Habyarimana yang memang bercita-cita menciptakan negara multietnis di Rwanda.
            Etnis Tutsi meminta dibentuknya Arusha Accords, yaitu perjanjian di mana Presiden akan memberikan kesempatan dan juga tempat untuk orang Tutsi memiliki posisi dalam pemerintahan[7]. Namun perjanjian tersebut tidak terimplementasi dengan baik karena adanya pertentangan keras dari ekstrimis etnis Hutu yang menolak kebijakan tersebut.
            Poin yang keenam adalah Intervention (campur tangan pihak lain). Intervesi adalah tindakan sosial dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian. Dalam kasus ini adalah pihak tersier yakni PBB sebagai organisasi internasional telah mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Rwanda. PBB membentuk pasukan dengan misi menjaga perdamaian di Rwanda. Misi ini bernama United Nations Assistance Mission for Rwanda, atau biasa disebut UNAMIR. UNAMIR dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 872 (1993) pada 5 Oktober 1993 untuk membantu mengimplementasikan perjanjian Arusha[8]. Namun upaya intervensi PBB guna menciptakan perdamaian di Rwanda ini gagal dengan tetap terjadinya genosida di Rwanda. Hal ini disebabkan karena kurangnya personil pasukan dari pihak PBB dan tidak adanya bantuan tambahan pasukan dari negara-negara anggota DK PBB.
            Poin yang ketujuh atau yang terakhir adalah Outcome (hasil akhir). Outcome adalah dampak dari berbagai tindakan pihak - pihak berkonflik dalam bentuk situasi. Poin yang terakhir dari metode SIPABIO ini berdasarkan pemahaman saya lebih menekankan pada situsasi akhir dari konflik yang berlangsung. Dalam kasus konflik etnis di Rwanda situasi akhir terutama setelah ada campur tangan PBB sebagai upaya perdamaian, dimana awalnya dianggap gagal karena tidak dapat mencegah terjadinya genosida. Setelah terjadi genosida tersebut memicu tindak balasan dari etnis Tutsi dalam bentuk pemberontakan yang juga memakan banyak korban. Hingga akhirnya kemudian terjadi kudeta pada tahun 2007 sehingga pemerintahan dapat direbut kembali oleh suku Tutsi. Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991[9].Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta berharap pemerintahnya akan dapat menerima bantuan dana dari dunia Internasional untuk membangun pemerintahan serta negaranya. Namun bantuan dana dari dunia Internasional tidak kunjung datang karena dipersulit dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit.
            Sehingga dalam konflik etnis di Rwanda ini dapat dilihat bahwa peran dunia Internasional melalui PBB ini sebenarnya kurang maksimal dalam upayanya menyelesaikan konflik. Terlihat dari keengganan negara-negara Anggota DK PBB untuk memberikan bantuan pasukan ke Rwanda sebelum terjadinya genosida, justru mereka hanya membantu upaya evakuasi warga negara asing yang ada di Rwanda agar tidak terjadi korban konflik juga. Di sisi pendanaan komunitas Internasional juga tidak kunjung mengucurkan dana bantuan pembangunan justru hanya menekankan pada penduduk Rwanda agar menghindari tindak kekerasan, padahal secara logika manusia keadaan dimana perut lapar dan kondisi miskin maka manusia cenderung akan bertindak agresif mengarah kekerasan untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan.




[2] Linda Dwi Eriyanti ,S.Sos, M.Si, Materi kuliah Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik
[3] Diakses dari http://acakanblog.blogspot.com/2010/12/rwanda.html
[4] Diakses dari http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[5] Diakses dari http://adityahandaka.blogspot.com/2012/04/hukum-internasional_17.html
[6] Diakses dari http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[7] Diakses dari http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[8] Diakses dari http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[9] Diakses dari http://adityahandaka.blogspot.com/2012/04/hukum-internasional_17.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar