1.
Bagaimana
pikiran dari Habermas dalam bukunya “menuju masyarakat komunikatif” menjadi
praksis?
Jawab :
Pertanyaannya
bagaimana, jadi menurut saya jawabannya adalah lebih menekankan pada “cara” dan
mungkin syarat-syarat bagaimana pikiran Habermas tentang masyarakat komunikatif
tersebut dapat menjadi praksis atau teori yang dipraktekkan. Mengingat kembali
pemikiran Habermas tentang praksis itu sendiri. praksis menurut Habermas tidak
hanya sebatas tindakan manusia yang dilakukan secara naluriah melainkan juga
atas dasar rasionalitas manusia itu sendiri dalam melakukan tindakan tersebut
sebagai makhluk sosial sebagai jalan keluar dari pengertian praksis yang
mengalami kemacetan pada waktu Marx menyempitkan pengertian praksis hanya
sebagai “kerja” sehingga ada makna ketimpangan kelas didalamnya. Rasional
menurut Habermas disini mengacu pada integrasi antar individu yang bersifat
komunikatif dan obyektif dalam memahami suatu keadaan, sehingga masyarakat
dapat mengeluarkan argumen-argumen dalam suatu perbincangan (diskursus).
Dalam
hal ini sudah jelas beberapa “cara” atau syarat agar pemikiran Habermas
tersebut dapat menjadi praksis menurut saya antara lain yakni yang pertama
adanya kesadaran rasional dari individu untuk berpikir dan berpandangan lebih
obyektif terhadap suatu keadaan. Dalam hal ini masyarakat dituntut harus “cerdas” dalam artian mampu menanggapi
keadaan secara obyektif dan mampu mengeluarkan argument-argumen dan dapat
membentuk diskursus. Yang kedua, dalam diskursus itu sendiri syaratnya adalah “tidak adanya pihak yang tertekan” atau
karena adanya perbedaan kelas (dominasi kelas), sehingga argumen benar-benar
muncul dari semua lapisan masyarakat tanpa adanya tekanan dari kelas masyarakat
tertentu. Dan yang terakhir adalah komunikasi tersebut mampu menghasilkan
consensus yang bebas dari dominasi dan tekanan serta dapat mengakomodasi
kepentingan yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, sehingga tercapai “kebenaran” atas consensus tersebut dan
dianggap sah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat.
2.
Apakah
mungkin masyarakat komunikatif dapat dilakukan dalam masyarakat yang tidak
egaliter?
Jawab :
Menurut
saya tentu saja tidak bisa diterapkan, karena berdasarkan pemikiran Habermas
sendiri disini masyarakat dituntut harus cerdas semuanya, dan mampu berpikir
rasional dan obyektif terhadap keadaan sehingga timbul komunikasi antar
masyarakat itu sendiri untuk menunjukkan argumen-argumen dalam “ruang publik”
untuk berkomunikasi dalam mencapai consensus yang bebas dominasi. Sedangkan
dalam masyarakat yang tidak egaliter, tentu cenderung melahirkan masyarakat
yang cenderung structural, sehingga kemudian timbul masyarakat mayoritas dan minoritas.
Dalam hal ini masyarakat minoritas kemudian cenderung termarjinalkan dan selalu
mendapat tekanan dari kaum mayoritas sehingga hasil consensus penuh dengan
kepentingan yang dipaksakan kepada kaum minoritas. Dalam hal ini adanya
perbedaan kelas tersebut menimbulkan konsep Top
Down di dalam masyarakat sehingga ketika terjadi komunikasi tidak dapat
mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat.
3.
Selanjutnya
apakah bisa diterapkan dalam masyarakat feodal dan tidak demokratis?
Jawab :
Jawaban
saya tetap tidak, karena jelas dalam masyarakat feodal dimana terdapat
pembagian atas masyarakat yang terstruktur berdasarkan penguasaan tanah. Tentu
saja keputusan tertinggi berada pada tangan-tangan tuan tanah. Dalam hal ini
jelas masyarakat sifatnya Top Down
sehingga ada yang termarjinalkan. Sama halnya dalam masyrakat yang tidak
demokratis, masyarakat dalam suatu negara yang otoriter misalnya. Ambil contoh
Indonesia pada masa presiden Soeharto, sangat kecil sekali kemungkinan
terjadinya komunikasi dalam masyarakat, karena keputusan tertinggi berada di
tangan presiden dan harus diterima dan dilaksanakan oleh seluruh warga negara.
Tidak jarang penggunaan kekerasan yang sifatnya represif dari pemerintah
sehingga rakyat mau tidak mau mematuhi peraturan yang dibuat. Dalam hal ini
saja sudah bertolak belakang dengan pemikiran Habermas bahwa masyarakat
Komunikatif bukanlah tercipta dari kekerasan melainkan lewat “argumentasi”.
Bagaimana bisa rakyat mengeluarkan argumen-argumennya jika dalam kondisi
tertekan dalam rezim represif otoriter yang sama sekali tidak demokratis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar