1. Jelaskan kritik sosialisme terhadap demokrasi
liberal.
Demokrasi merupakan produk dari paham liberalisme dewasa ini. Demokrasi
sendiri menurut Abraham Lincoln merupakan suatu pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berarti di sini demokrasi adalah suatu
sistem pemerintahan yang mengutamakan kedaulatan rakyatnya. Demokrasi dan
liberalisme merupakan dua hal yang saling terkait. terdapat beberapa macam
bentuk demokrasi dan salah satunya adalah demokrasi liberal.
Liberalisme sendiri merupakan paham yang sangat
menekankan dan mengutamakan kepemilikan individu, karena kesejahteraan manusia
dianggap dapat diraih dengan adanya kebebasan individu untuk hidup, dan termasuk
di dalamya kebebasan dalam berusaha. Demokrasi liberal memiliki makna sebagai sistem pemerintahan yang lebih menekankan pada
pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu ataupun
masyarakat.[1]
Dalam hal ini tidak ada pihak yang bisa merampas hak individu tersebut tidak
terkecuali negara. Bahkan, negara harus melindungi hak-hak individu warga
negaranya tersebut.
Sekilas memang bentuk demokrasi ini
sangat berpihak dan mengutamakan rakyat. Namun dalam prakteknya demokrasi
liberal ini justru banyak menerima kritik dari berbagai kalangan karena
demokrasi liberal justru melahirkan ketidakstabilan dalam berbagai bidang. Salah
satunya kritik dari kaum sosialis. Kritik tersebut berpandangan bahwa demokrasi
liberal hanyalah suatu sistem yang hanya menguntungkan kaum minoritas saja.
Dikatakan hanya kaum minoritas saja yang diuntungkan disini meninjau dari prinsip
dasar demokrasi itu sendiri. Prinsip demokrasi yang mengutamakan kedaulatan
rakyat dimana pemerintahan dari oleh dan untuk seluruh rakyat. Namun
kenyataannya hanya kaum minoritas yang tidak lain adalah kelompok-kelompok yang
menguasai ekonomi dan memiliki akses politik saja yang akan terus berusaha
mengutamakan kepentingannya dengan menggunakan akses politik yang mereka miliki
dalam pemerintahan.
Berikut adalah ciri-ciri demokrasi
liberal :
1. Kontrol terhadap negara,
alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol.
2. Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional
3. Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh peraturan perundangan
4. Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang untuk
memperjuangkan dirinya.[2]
Dari
ciri-ciri di atas secara jelas dapat dilihat bahwa konstitusi memiliki pengaruh
kuat bahkan membatasi kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan. Kaum
minoritas yang selalu memperjuangkan kepentingannya khususnya dalam bidang
ekonomi dan politik, tentunya akan memanfaatkan akses politiknya bahkan mereka duduk
di kursi pemerintahan. Mereka dapat leluasa mengatur dan membuat konstitusi yang
akan memihak dan menguntungkan mereka. Sehingga kebebasan yang diagung-agungkan
dalam demokrasi hanya menjadi milik mereka (kaum minoritas)
yang memiliki modal, yang memiliki akses terhadap kepemilikan sumber-sumber
ekonomi dan politik tentunya. Hal inilah yang menyebabkan ketidakstabilan dalam
berbagai bidang tentunya dalam bidang ekonomi dan politik, dan tentunya sangat
bertolak belakang dengan cita-cita demokrasi itu sendiri.
2. Review secara kritis pandangan demokrasi Asia
dari tokoh-tokoh seperti Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew.
Demokrasi
Asia, tentunya dari namanya saja sudah dapat menunjukkan bahwa demokrasi
tersebut berada di kawasan Asia. Hal yang dapat membedakan demokrasi Asia dan
demokrasi di negara barat yakni kondisi di kawasan Asia yang sangat majemuk,
terdapat beragam kebudayaan dan agama yang menjadi pilar dari demokrasi itu
sendiri. Sehingga dapat dikatakan demokrasi Asia merupakan demokrasi yang khas
ada di Asia yang berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa Asia yang di dalamnya
mengandung unsur-unsur budaya ketimuran sebagai pondasi demokrasinya.
Namun
demokrasi Asia jika di lihat pada kepemimpinan tokoh-tokoh negara antara lain
Mahathir Mohammad dan Lee Kuan Yew dalam kasus ini, demokrasi pada kepemimpinan
kedua tokoh tersebut masih belum bisa dikatakan sebagai demokrasi yang
benar-benar dapat menjunjung tinggi nilai-nilai universal demokrasi.
Nilai-nilai universal tersebut seperti persamaan kedudukan di depan hukum,
pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan demokratis, pengakuan atas hak-hak
sipil (kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan beragama, dan
kebebasan pers), terbukanya partisipasi politik, adanya checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara, serta
pengawasan legislatif atas kekuasaan eksekutif.[3]
Di Malaysia yang
menganut sistem multipartai, namun kenyataannya hanya satu partai yang
mendominasi pemerintahan dan selalu menang di pemilu yakni partai Organisasi
Nasional Melayu Bersatu (UMNO). Dominasi UMNO ini selama puluhan tahun
menunjukkan keterbatasan partai politik lainnya (oposisi) untuk bergerak karena
manipulasi pemilu yang selalu dilakukan. Pemilu selalu didominasi UMNO,
sehingga pemilu semata-mata hanya menjadi proses sirkulasi elit-elit partai
untuk duduk di pemerintahan. Tidak khayal jika pemerintahan bersifat tertutup
dan rakyat sangat minim sekali informasi akan pemerintahan sehingga tindak
korupsi merajalela di dalam pemerintahan. UMNO mengutamakan stabilitas politik
dan pertumbuhan ekonomi di negaranya dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat
sebagai partai berkuasa. Namun justru kebijakan-kebijakan tersebut tidak
memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat, karena kebijakan yang dibuat sangat
diskriminatif dan mengutamakan etnis melayu diatas etnis lainnya. Terdapat hak
istimewa etnis melayu yang dikenal dengan istilah hak keistimewaan “bumi
putera”.[4] Sehingga
terjadi diskriminasi politik terhadap etnis-etnis minoritas seperti India dan
China.
Tidak jauh
beda panggung politik di Singapura yang didominasi People Action Party atau Partai
Aksi Rakyat (PAP), partai yang didirikan oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew dan merupakan
the ruling party.[5] Dimana
dengan dominasi partai tersebut di singapura memang dapat menciptakan kemajuan
ekonomi yang pesat meskipun secara geografis minim sekali sumber daya alam.
Negara sangat tergantung dengan investor sehingga selalu berusaha menjaga
stabilitas investor, namun di sisi lain nilai-nilai demokrasinya menjadi
tersisihkan. Parlemen mayoritas dikuasai oleh elit-elit dari PAP. Lee Kuan Yew
menganggap dominasi satu partai tersebut sudah sangat baik bagi negara terkait
pembangunan dan kemajuan negara, serta menganggap kehancuran besar bagi
Singapura jika partai oposisi nantinya duduk di pemerintahan karena akan
merombak sistem yang sudah ada.[6] Terlihat
sifat keotoriteran yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew terhadap masyarakat dengan
melarang rakyatnya dalam pemilu memilih calon dari partai oposisi.
Kesadaran
rakyat akan sentralisasi serta tindak represif pemerintah tersebut, kemudian hingga
saat ini banyak melahirkan tuntutan-tuntutan dari rakyat agar dilakukannya
revolusi demokrasi di negaranya.
3. Review secara kritis pemerintahan demokrasi
Pancasila semasa Suharto.
Demokrasi Pancasila merupakan salah satu
bentuk demokrasi yang unik dan hanya ada di Indonesia. Demokrasi Pancasila
memiliki pengertian yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[7] Melihat
dari pengertian demokrasi tersebut sangat jelas bahwa landasan dasar dari
demokrasi yang dianut Indonesia tersebut adalah 5 butir sila yang terkandung
dalam pancasila. Intinya pancasila haruslah kuat sebagai tempat untuk
menggantungkan cita-cita bangsa untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Jika dilihat
dari butir-butir pancasila, maka lima sila itu sudah mencakup tentang gambaran
ideal mengenai bagaimana manusia Indonesia berhubungan dengan Tuhannya,
bagaimana hidup dengan orang lain sebagai manusia, bagaimana memutuskan
sesuatu, bagaimana filsafat yang lebih memandang penting persatuan dan kesatuan
daripada ketercerai beraian, dan bagaimana sebuah keadilan diperjuangkan demi
seluruh rakyat Indonesia.[8]
Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang
ditujukan kepada kesejahteraan rakyat. Dimana sistem pengorganisasian negara
dilakukan oleh rakyat atau persetujuan rakyat. Cita-cita universal demokrasi
dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang didasari semangat
kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas. Sangat
ideal sekali bentuk demokrasi pancasila yang hanya ada di Indonesia tersebut.
Namun dalam
prakteknya, pada masa pemerintahan soeharto yakni rezim yang dikenal dengan
nama orde baru banyak sekali terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap visi
dan tujuan demokrasi pancasila itu sendiri. Berbagai bentuk pelanggaran
tersebut antara lain pelanggaran terhadap HAM, sentralistik kekuasaan, konsep
dwi fungsi ABRI, pelanggaran konstitusi yang dilakukan soeharto terkait masa
jabatan presiden, aspirasi rakyat dan kebebasan pers yang terbatas, serta mulai
maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pelanggaran
HAM ditandai dengan adanya diskriminasi dan marjinalisasi terhadap masyarakat
non pribumi atau Tionghoa. Dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet
mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi dan sangat
beraroma rasis.[9] Adanya
peraturan pelarangan sekolah dan terbitnya buku berbahasa Cina. Pelanggaran
konstitusi sangat jelas terkait dengan masa jabatan presiden yang
berkali-berkali terpilih menjadi presiden dan menjabat selama 32 tahun. Hal ini
ditunjang dengan dominasi partai Golkar sebagai single party majority. Meskipun negara menganut sistem multipartai,
namun kursi pemerintahan dan parlemen dikuasai oleh elit-elit Golkar yang tak
lain kaki tangan Soeharto. Sehingga melahirkan sentralistik kekuasaan oleh
Soeharto pada masa itu.
Konsep
dwi fungsi ABRI, yang dimaksud disini adalah selain berfungsi sebagai garis
depan dalam pertahanan nasional mereka juga turut serta dalam urusan
pemerintahan bahkan duduk sebagai pejabat pemerintahan dalam mengatur kebijakan
negara. Keterbatasan aspirasi rakyat pada masa orde baru terlihat dengan adanya
“Penembakan Misterius” yang dikenal dengan istilah PETRUS pada masa itu
dilansir guna menjaga keamanan nyatanya itu hanya sebagai tindak kekerasan bagi
mereka kalangan masyarakat yang mulai tidak sepaham atau tidak mendukung
Soeharto. Dengan adanya tindak kekerasan PETRUS tersebut menyebabkan ketakutan
yang luar biasa pada rakyat, sehingga untuk mengeluarkan pendapat dan
beraspirasi mereka akan berpikir dua kali.
Kebebasan
pers dibatasi ditandai dengan pencabutan Surat Ijin Terbit beberapa Koran dan
juga penahanan terhadap sejumlah pemimpin redaksi Koran tersebut dikarenakan
melakukan publikasi terhadap rahasia negara terkait anggaran negara dan juga
dinilai berita yang dimuat menjelek-jelekka nama Soeharto dan kepemimpinannya.
Misalnya pada Pada tahun 1974, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui
pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT) karena Pers dituduh telah menjurus ke arah
usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah
dan lain-lain.[10]
Tindak
Korupsi, kolusi dan Nepotisme yang marak pada masa Soeharto, dimana kursi
pemerintahan berada di tangan kroni-kroni soeharto, pemerintahan sangat
tertutup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi praktek-praktek KKN. Pembangunan
yang menjadi ikon pemerintah Orde Baru ternyata menciptakan konglomerasi dan
bisnis yang syarat dengan KKN. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi dan sosial yang demokratis. Meskipun
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi secara fundamental
pembangunan nasional sangat rapuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar