Arif Frastiawan Singhan
090910101013
Jurusa Hubungan
Internasional
Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu politik
Universitas
Jember
2012
Abstract
Ethnic
conflict in Rwanda is one form of identity conflicts are dysfunctional, so that
leads to the violence in the form of genocide. The conflict occurred because
social construction of the past that social stratification carried by Belgium,
leading to the marginalization of ethnic Hutus. Genocide happened to cause
almost a million deaths that attract international attention. Operation Peace
of the United Nations through the efforts of the peace keeping was not able to
prevent the genocide.
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Konflik
merupakan sesuatu yang muncul ketika terjadi interaksi antara dua pihak atau
lebih yang kemudian pihak yang berinteraksi tersebut mengalami perbedaan
pendapat, pandangan, atau ide sehingga kemudian melahirkan kondisi yang saling
bertentangan antara kedua belah pihak dalam mencapai tujuan bersama dalam
masyarakat. Bentuk konflikpun bermacam-macam tingkatannya, mulai dari konflik
intra personal hingga konflik yang levelnya internasional. Namun satu yang hal
yang sama yakni konflik merupakan hasil dari persinggungan atau saling
bertentangannya pola pikir manusia yang terimplementasikan dalam bentuk
pandangan maupun ide-ide dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi satu
sama lain. ketika konflik tidak di manage
dengan baik maka cenderung konflik akan berujung pada penggunaan kekerasan yang
bahkan tidak sedikit memakan korban.
Berdasarkan
sejarahnya kekerasan dan konflik merupakan hal yang telah ada sejak manusia lahir
dan akan terus eksis hingga akhir dari kemanusiaan itu sendiri. Secara alamiah
manusia memang memiliki naluri untuk hidup bersama antar manusia. Dorongan
mendasar naluri untuk hidup bersama tersebut adalah karena manusia harus
memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin dapat dipenuhi
dengan hidup sendiri. Sehingga dalam kehidupannya manusia akan saling
berinteraksi satu sama lain. Dalam Interaksi inilah kemudian adanya faktor
perbedaan identitas, kepentingan dan dorongan pada tiap individu akan bergesek
satu sama lain dan dapat dipastikan konflik akan terjadi.
Dalam
tulisan ini akan dibahas secara mendalam konflik yang terjadi di negara Rwanda,
tepatnya konflik etnis yang terjadi antara suku Hutu dan Suku Tutsi yang ada di
negara Rwanda. Konflik etnis menurut Brown adalah konflik yang berkaitan dengan
berbagai permasalahan yang mendesak dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih[1].
Konflik etnis di Rwanda ini telah menarik perhatian dunia Internasional karena
terkenal dengan fenomena genosida yang memakan ratusan ribu korban jiwa. Konflik
etnis tersebut terjadi dipengaruhi banyak hal, sehingga untuk mempermudah
menganalisisnya akan digunakan tahapan atau metode pemetaan konflik yang dikembangkan
oleh sosiolog dari United Nations-University for Peace, Amr Abdalla, yaitu
model SIPABIO (Source, Issue, Parties, Attitudes, Behavior, Intervention, dan
Outcome) dan SPITCEROW (Source, Parties, Issue, Tactics, Changes, Enlargement,
Resources, Outcome, dan Winner/Looser)[2].
Namun dalam tulisan kali ini metode yang digunakan untuk menganalisis konflik
di Rwanda adalah metode SPITCEROW serta akan dibahas juga bentuk resolusi
konflik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di negara
Rwanda tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang yang telah dipaparkan, penulis mendapatkan rumusan masalah dan akan
dikaji lebih lanjut yang terumus dalam pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana
analisis konflik dengan metode SPITCEROW terhadap konflik etnis yang terjadi di
negara Rwanda?
2. Bagaimana
tahap resolusi yang dilakukan sebagai upaya penyelesaian konflik etnis yang
terjadi di negara Rwanda?
1.3
Kerangka
teori
Dalam
menganalisis konflik etnis yang terjadi di Rwanda, penulis menggunakan kerangka
pemikiran berupa teori konflik. Teori konflik yang digunakan adalah teori
identitas sosial, dimana teori ini memiliki beberapa asumsi dasar sebagai
berikut:
menciptakan identitas sosial untuk menyederhanakan
hubungan eksternal
Ada kebutuhan manusia untuk harga diri yang positif dan
harga diri yang ditransfer ke kelompok
Memisahkan lingkungan sosial dengan melihat perbandingan
sosial antara kelompok (in group / out group)
Batas Identitas antara kelompok
sendiri(in group) dan kelompok luar (out group) ditetapkan berdasarkan kesadaran kelompok secara subyektif.
Identitas instrumental dapat digunakan untuk
mempromosikan kepentingan individu atau kolektif
Perbedaan
etnis dan agama tidak dengan sendirinya menyebabkan
konflik, tetapi lebih kepada identitas kelompok yang dibangunkan oleh ketidaksetaraan
yang berasal masyarakat terkait dengan kesejahteraan dan akses
politik[3].
Menciptakan identitas sosial untuk menyederhanakan
hubungan eksternal. Berdasarkan asumsi ini terkait kasus
konflik di Rwanda, identitas yang dibentuk adalah sekelompok individu yang
mengatasnamakan dirinya sebagai etnis Hutu serta sekelompok individu lainnya
yang mengatasnamakan dirinya sebagai etnis Tutsi. Pembentukan identitas sosial
yang diciptakan sekelompok individu tersebut yakni etnis, telah memberikan
batasan dan pembeda yang jelas antara kelompok individu-individu yang satu
dengan kelompok yang lain di dalam lingkup hubungan sosialnya. Sehingga
berpengaruh juga pada asumsi pemisahan lingkungan dengan berdasarkan pada
perbandingan sosial in group dan out group dan kesadaran subyektif dalam
membatasi identitas kelompoknya dengan kelompok yang lain.
Asumsi selanjutnya yakni perbedaan etnis dan agama tidak dengan sendirinya menyebabkan
konflik, tetapi lebih kepada identitas kelompok yang dibangunkan oleh ketidaksetaraan
yang berasal dari masyarakat terkait dengan kesejahteraan dan
akses politik. Dalam konflik yang terjadi di Rwanda, terjadi ketidaksetaraan
antara etnis Hutu dan Etnis Tutsi khususnya dalam akses politik, dimana pada
masa kolonialisasi bangsa Eropa khususnya negara Belgia yang masuk ke Rwanda
memilih suku Tutsi sebagai pemegang kursi pemerintahan. Sehingga kemudian akses
kedalam pemerintah sangat minim dan dapat dikatakan sangat susah bagi suku
Hutu. Hal tersebut yang kemudian juga berpengaruh pada kesejahteraan suku Hutu
itu sendiri karena tentunya mengalami kesulitan dalam segala bidang untuk
memenuhi kebutuhannya.
Dalam teori identitas juga dapat
dijelaskan bahwa identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya
sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan dapat
mempengaruhi timbulnya konflik. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di
Rwanda antara kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa stratifikasi
sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan
kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku
tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk
mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan
menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.
II.
PEMBAHASAN
2.1
konflik
etnis di Rwanda dengan metode SPITCEROW
Metode SPITCEROW yang dikemukakan
oleh sosiolog Amr Abdalla meliputi Source,
Parties, Issue, Tactics, Changes, Enlargement, Resources, Outcome, dan Winner/Looser. Poin yang pertama yakni Source yang berarti sumber, dalam hal
ini adalah sumber konflik. Sesuai penjelasannya bahwa sumber konflik yang
berbeda akan melahirkan konflik yang berbeda pula. Sumber-sumber konflik itu
salah satunya meliputi nilai-nilai seperti identitas, dalam kaitannya dengan
konflik yang terjadi di Rwanda ini perbedaan identitas antara pelaku konflik
dalam hal ini adalah etnis, dimana konflik terjadi antara sekelompok manusia
yang mengatasnamakan etnis Hutu dan etnis Tutsi. Suku Hutu merupakan penduduk
mayoritas yang tinggal di negara Rwanda dengan jumlah penduduk mencapai
prosentase 85% dari 7,4 juta jiwa penduduk negara Rwanda, sedangkan Etnis Tutsi
sendiri merupakan masyarakat dusun yang sudah menetap di negara Rwanda sejak
awal abad 15 dengan Jumlah penduduk hanya 14% dari jumlah keseluruhan jumlah
penduduk[4].
Perbedaan antara kedua suku tersebut adalah terletak pada status yang dimiliki
oleh keduanya, dimana etnis Tutsi memiliki status sebagai pemegang kekuasaan
dalam pemerintahan yang dipilih oleh bangsa kolonial Belgia pada era
kolonialisasi pada masa itu sehingga menyebabkan status dari suku Hutu menjadi
kelompok yang dirugikan dan merasa dimarjinalkan karena akses yang terbatas
dalam pemerintahan.
Sumber konflik lainnya adalah model
hubungan sosial (analisis konstruksi sosial) dimana dalam kasus Rwanda ini
kostruksi sosial yang terjadi adalah adanya stratifikasi etnis. Walaupun
sebagai penduduk yang jumlahnya minoritas namun pada masa masuknya kolonial
eropa yakni datangnya negara kolonial Belgia, Belgia lebih memihak pada etnis
Tutsi karena etnis Tutsi sebagai penduduk minoritas dinilai memiliki keadaan
fisik yang lebih baik daripada etnis Hutu dan memberikan kekuasaan kepada suku
Tutsi. Alasan yang jauh dari kata rasional ini merupakan bentuk konstruksi
sosial yang dibangun oleh bangsa Belgia pada masa itu.
Poin yang kedua adalah parties yang berarti pihak yang berkonflik.
Dalam hal ini adalah kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak
konflk utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang
tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan, dan pihak tersier yang
tidak berhubungan dengan kepentingan konflik yang sering dijadikan sebagai
pihak netral untuk mengintervensi konflik. Dalam konflik di Rwanda pihak utama
yang berkonflik adalah etnis Hutu dan etnis Tutsi. Pihak sekunder yang tidak
secara langsung berhubungan dengan kepentingan adalah negara-negara tetangga
dari Rwanda dimana menjadi tempat pengungsian etnis Tutsi, salah satunya negara
Uganda yang bahkan menjadi pusat Rwandan Patriotic Front (RPF) yang merupakan
gerakan pemberontak bentukan etnis Tutsi[5].
Pihak tersier dalam konflik Rwanda ini adalah PBB yang menunjuk salah satu
Jenderal bernama Romeo Dallaire untuk dikirim dengan beberapa pasukan oleh PBB demi
membantu meredam konflik Rwanda[6].
Poin yang ketiga yakni adalah issue yang berdasarkan penjelasannya isu
menunjuk pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara
pihak bertikai dan isu ini dikembangkan oleh semua pihak bertikai dan pihak
lain yang tidak teridentifikasi. Dalam kasus konflik di Rwanda ini, isu yang
muncul dan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik adalah isu
penyebab kematian presiden Habyarimana selaku presiden dari etnis Hutu setelah
pemerintahan Rwanda dipegang oleh etnis Hutu pasca dekolonisasi Belgia. Isu
tersebut menyebutkan bahwa kematian presiden Habyarimana disebabkan atau
pelakunya adalah dari pihak etnis Tutsi.
Isu tersebut dibuat oleh suku Hutu
sendiri terutama dari kaum ekstrimis Hutu karena menolak misi presidennya.
Bahkan terdapat kemungkinan yang sebenarnya terjadi, peristiwa pembunuhan
presiden Habyarimana itu sengaja dilakukan oleh para Hutu ekstrimis itu sendiri
demi mendapatkan atau membuat momentum yang tepat untuk melancarkan rencana
mereka yakni membantai suku Tutsi[7].
Alasan kuat yang melatarbelakangi munculnya isu tersebut karena adanya misi
presiden untuk menciptakan negara multietnis di Rwanda. Misi ini dianggap akan
memberikan kesempatan pada etnis Tutsi untuk masuk dalam pemerintahan negara
Rwanda sehingga hal inilah yang tidak disetujui atau tidak sejalan dengan
tujuan kalangan ekstrimis Hutu yang ingin tetap mempertahankan pemerintahan
satu suku.
Poin yang keempat yakni Tactics yang berarti strategi. Strategi
disini memiliki makna sebagai salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan konflik. Dalam
kasus di Rwanda strategi yang dilakukan oleh pihak yang tidak langsung
berhubungan dengan konflik yakni bangsa Belgia yang masuk ke negara Rwanda pada
masa kolonialisasi. Strategi yang dilakukan oleh Belgia adalah politik adu
domba, dimana dengan menciptakan konstruksi sosial yang memarjinalkan salah
satu suku yakni dalam hal ini adalah etnis Hutu. Belgia lebih memilih etnis
Tutsi sebagai pemegang kekuasaan dengan alasan bahwa bentuk fisik dari etnis
Tutsi lebih baik daripada etnis Hutu. Etnis Tutsi dinilai memiliki bentuk tubuh
yang lebih tinggi dan warna kulit yang lebih terang serta bentuk hidung yang
lebih ramping dan mancung dibanding etnis Hutu[8].
Sedangkan strategi yang dilakukan
pihak yang langsung terkait dengan konflik adalah strategi yang dilakukan etnis
Hutu terhadap etnis Tutsi yang merupakan kedua pihak berkonflik. Strategi yang
dilakukan pihak Hutu adalah dengan melemparkan isu bahwa pelaku pembunuhan
presiden Habyarimana adalah orang suruhan dari etnis Tutsi. Strategi melempar
isu ke permukaan ini untuk menciptakan momentum yang tepat untuk segera
merealisasikan rencana mereka yakni membantai etnis Tutsi karena perasaan sakit
hati yang mendalam sejak masa kolonialisasi Belgia.
Poin yang kelima adalah Changes yang berarti perubahan.
Perubahan disini memiliki penjelasan sebagai suatu bentuk kondisi saat ini yang
ingin dirubah menjadi lebih baik karena kondisi saat ini dirasa sangat
merugikan salah satu pihak yang berkonflik. Upaya perubahan ini merupakan
cita-cita yang mendapat dukungan dari salah satu pihak dan juga akan ditentang
oleh pihak lain karena kondisi saat ini dirasa sudah baik dan tidak perlu
adanya perubahan. Dalam konflik di Rwanda perubahan yang diinginkan oleh etnis
Tutsi adalah terciptanya negara yang multi etnis karena pada masa itu pemerintahan
dipegang oleh etnis Hutu yang menerapkan pemerintahan satu etnis sehingga
menyebabkan etnis Tutsi menjadi terpinggirkan, bahkan banyak etnis Tutsi yang
mengungsi ke negara-negara tetangga karena mendapatkan perlakuan buruk di
negaranya sendiri.
Keingingan perubahan oleh etnis
Tutsi tersebut bahkan mendapat dukungan dari presiden negara Rwanda itu sendiri
yakni presiden Habyarimana yang justru berasal dari etnis Hutu. Presiden bahkan
bercita-cita untuk menciptakan pemerintahan multietnis di negaranya. Cita-cita
tersebut yang kemudian mendapat penolakan serta tentangan yang keras dari kaum
Hutu khususnya Hutu ekstrimis. Sehingga kemudian berujung pada peristiwa
kematian presiden Habyarimana itu sendiri yang disinyalir pelakunya dari suku
Hutu sendiri namun isu yang dilempar ke masyarakat pelaku pembunuhan adalah
dari etnis Tutsi. Bentuk tindakan penolakan terhadap cita-cita presiden
Habyarimana ini bahkan berujung pada kematian presiden tersebut merupakan
bentuk penolakan akan perubahan dan keinginan yang kuat untuk mempertahan
kondisi saat ini karena dirasa sudah baik bagi kaumnya.
Poin yang keenam adalah Enlargement yang berarti perluasan atau
pembesaran. Berdasarkan penjelasannya Enlargement
merupakan suatu bentuk perluasan atau pembesaran konflik yang dipengaruhi
aspek-aspek seperti tergalinya kembali perasaan dendam dan sakit hati masa lalu
terhadap pihak lain serta faktor adanya campur tangan dari pihak luar sehingga
konflik semakin membesar dan memburuk. Dalam konflik yang terjadi di Rwanda
terkait dengan kontruksi sosial masa lalu yakni ketika Belgia masuk ke Rwanda
dan menciptakan marjinalisasi terhadap suku Hutu. Hal ini yang kemudian
menciptakan perasaan dendam dan sakit hati yang mendalam bagi etnis Hutu atas
perlakuan tidak adil dan terpinggirkan di negaranya sendiri walaupun suku Hutu
merupakan etnis mayoritas di Rwanda. Sehingga kemudian pada masa
dekolonialisasi dan Belgia akhirnya angkat kaki dari Rwanda pemerintahan dapat
direbut dan diduduki oleh etnis Hutu, momen ini kemudian menjadi waktu yang
tepat untuk membalas perlakuan etnis Tutsi yang sebenarnya tuntutan dari
penguasa negara penjajah Belgia masa lalu. Etnis Tutsi sendiri kemudian banyak
yang mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda.
Poin ketujuh yakni Resources, dapat diartikan resources ini ke dalam bentuk persaingan
terhadap sumber-sumber yang dibutuhkan. Sumber-sumber yang dimaksud meliputi
sumber daya alam yang terdapat di suatu wilayah tempat terjadinya konlik,
maupun sumber-sumber dalam bentuk akses politik dan ekonomi. Sumber-sumber
tersebut bersifat terbatas sehingga memicu persaingan dalam memperebutkan
sumber-sumber tersebut sehingga tak dapat dipungkiri dapat menimbulkan konflik.
Dalam konflik di Rwanda resources yang dimaksud lebih menekankan
pada sumber-sumber dalam bentuk akses politik yakni akses ke dalam
pemerintahan. Dimana kekuasaan pemerintahan awalnya dipegang oleh suku Tutsi
sebagai setting dari negara penjajah
Belgia. Hal tersebut kemudian menyebabkan marjinalisasi terhadap etnis Hutu
khususnya dalam akses politik dalam pemerintahan. Keterbatasan akses politik
ini memberikan pengaruh pada kesejahteraan hidup suku Hutu sehingga mereka
kemudian berusaha untuk merebut kekuasaan dari suku Tutsi pada masa
dekolonialisasi. Pada masa dekolonialisasi terjadi banyak pemberontakan yang
dilakukan suku Hutu, tak dapat dipungkiri pemberontakan berjumlah besar karena
suku Hutu adalah suku mayoritas di Rwanda.
Poin kedelapan adalah Outcome yang berarti hasil akhir. Outcome dalam konflik di Rwanda lebih
menekankan pada situsasi akhir dari konflik yang berlangsung. Dalam kasus
konflik etnis di Rwanda situasi akhir terutama setelah ada campur tangan PBB
sebagai upaya perdamaian, dimana awalnya dianggap gagal karena tidak dapat
mencegah terjadinya genosida. Setelah terjadi genosida tersebut memicu tindak
balasan dari etnis Tutsi dalam bentuk pemberontakan yang juga memakan banyak
korban. Hingga akhirnya kemudian terjadi kudeta sehingga pemerintahan dapat
direbut kembali oleh suku Tutsi. Kemudian pemerintahan suku Tutsi tersebut
berupaya melakukan reformasi politik serta perbaikan dan pemulihan ekonomi
negaranya.
Saat ini Rwanda adalah salah satu
negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank
Dunia, sebesar 270 dolar AS pada tahun 1991[9].
Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah
kudeta berharap pemerintahnya akan dapat menerima bantuan dana dari dunia
Internasional untuk membangun pemerintahan serta negaranya. Namun bantuan dana
dari dunia Internasional tidak kunjung datang karena dipersulit dengan adanya
birokrasi yang berbelit-belit. Mengingat sumber pendapatan utama negara Rwanda
adalah dari sektor pertanian, sehingga seharusnya pembangunan dan kemajuan
sektor pertanian harus dikedepankan.
Pada tahun 1996, bantuan
kemanusiaan mulai bergeser ke rekonstruksi dan bantuan pembangunan. Sejak itu,
Rwanda telah mengalami pemulihan ekonomi yang mantap, berkat bantuan asing
(sekarang lebih dari $ 500 juta per tahun) dan reformasi pemerintah[10].
Sejak tahun 2002, tingkat pertumbuhan PDB telah berkisar antara 3% -9% per
tahun, dan inflasi yang berkisar antara 2% -9%. Rwanda tergantung pada impor
asing yang signifikan (lebih dari $ 400 juta per tahun). Ekspor telah
meningkat, sampai dengan $ 145 juta pada tahun 2007. Investasi swasta masih di
bawah ekspektasi meskipun kebijakan perdagangan yang terbuka, iklim investasi
yang baik, murah dan berlimpah tenaga kerja, insentif pajak untuk bisnis,
keamanan dalam negeri stabil, dan tingkat kejahatan yang relatif rendah[11].
Poin yang kesembilan dan juga poin
yang terakhir yakni Winner/Looser. Winner/Looser
berarti pihak yang kalah dan pihak yang menang. Menurut saya pihak kalah
maupun menang itu relatif, tergantung dari sudut pandang pihak mana yang
dianggap menang dan juga kalah. Dalam kasus konflik etnis di Rwanda dimana
berkali-kali terjadi pergantian kekuasaan, sehingga kedua etnis dapat dikatakan
bergantian menjadi pihak yang menang dan juga pihak yang kalah dengan titik
ukurnya yakni keberhasilan mereka menduduki pemerintahan negara Rwanda. Namun
jika dilihat dari kondisi akhir (outcome) konflik yang terjadi di Rwanda, suku
Tutsi dapat dikatakan sebagai pihak yang menang (winner) sedangkan suku Hutu sebagai pihak yang kalah (looser). Hal tersebut dinilai dari pemegang
kekuasaan terakhir negara Rwanda yakni suku Tutsi yang melalui kudeta yang
dilakukannya.
2.2
Tahap
resolusi konflik dalam penyelesaian konflik etnis di Rwanda
Menurut John Burton, resolusi
konflik adalah suatu proses analisis dan penyelesaian masalah yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas
dan pengakuan, juga perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dan dalam jangka panjang merupakan proses
menuju perubahan politik, sosial dan ekonomi[12].
Resolusi konflik diperlukan untuk menyeleseaikan konflik yang terjadi dan
bahkan sifatnya berkepanjangan dalam suatu negara. Terdapat berbagai macam
bentuk penyelesaian konflik seperti mediasi, arbitrasi, akomodasi dan masih
banyak lagi yang lain tergantung skala konflik yang terjadi. Dalam konflik
etnis yang terjadi di Rwanda bentuk penyelesaian konfliknya dapat dikatakan
menggunakan bentuk persuasif, yakni upaya menggunakan perundingan dan musyawarah untuk mencari
titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Berbagai
bentuk perundingan telah dilakukan oleh kedua belah pihak yang berkonflik.
Dunia internasional ikut andil khususnya
badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam penyelesaian konflik
etnis di Rwanda tersebut. konflik ini menarik perhatian dunia internasional
karena konflik yang awalnya berupa konflik internal berupa fanatisme antar suku
berubah menjadi pembantaian manusia secara besar-besaran yang mengakibatkan
eskalasi politik dan keamanan di kawasan. Pembantaian manusia secara
besar-besaran tersebut dikenal dengan istilah genosida. Dimana genosida yang
terjadi di Rwanda setidaknya menjadi agenda keamanan internasional karena
genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental
manusia yang tercantum dalam piagam PBB. Genosida ini juga menjadi kejahatan
kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust yang terjadi di
Jerman[13].
Atas desakan masyarakat
internasional akhirnya PBB mengirimkan pasukan perdamaian untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi antara hutu dan tutsi melalui sebuah human intervention
(intervensi kemanusiaan). Bentuk dari upaya penanganan konflik di Rwanda oleh
PBB ini adalah Peace Operation PBB
yakni dalam bentuk peace keeping, yakni kegiatan penggelaran personel di negara
atau kawasan yang bertikai atas seizin pihak-pihak terkait. Pengiriman pasukan
perdamaian PBB ini tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik yang terjadi karena
selama pasukan perdamaian PBB melakukan
internvensinya di Rwanda masih banyak terdapat pembunuhan massal terhadap suku
tutsi oleh kaum militan.
PBB juga membentuk United Nations
Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) awal tahun 1994 melalui Arusha
agreement, merupakan misi PBB untuk menjaga perdamaian di Rwanda[14].
Namun upaya tersebut tidak dapat mencegah terjadinya genosida di Rwanda. Hal
ini dikarenakan Pasukan UNAMIR yang bertugas di Rwanda sebagai penjaga
perdamaian tidak memiliki kekuatan dan sarana untuk menegakkan perdamaian.
Mereka tidak dipersenjatai secara lengkap dan bahkan tidak bisa untuk membela
diri mereka sendiri. Bahkan pasukan PBB ini justru menjadi target sasaran
serangan pasukan Hutu sehingga akhirnya DK-PBB menarik pasukannya dari Rwanda
pada saat itu.
Maka dapat disimpulkan sebenarnya
upaya penyelesaian konflik khususnya di Rwanda tidak sepenuhnya dapa
dipercayakan pada pihak luar dalam hal ini badan internasional seperti PBB. Menurut
pendapat penulis dalam menanggapi upaya penyelesaian konflik etnis di Rwanda,
lebih baiknya jika kedua belah pihak yang berkonflik untuk dapat
menyelenggarakan perundingan-perundingan damai sendiri dengan penuh kesadaran
menjunjung tinggi nilai pluralitas dan membuang jauh-jauh perasaan dendam masa
lalu. Pentingnya asimilasi dalam suatu negara yang multikultral, saling menghargai
perbedaan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia demi tujuan utama yakni
persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan negara mereka sendiri.
Adapun pihak luar khususnya badan
international seperti PBB jika memang ingin turun tangan untuk menyelesaikan
konflik, seharusnya lebih bersungguh-sungguh dan bukan justru mengutamakan
kepentingan pribadi khususnya bagi negara-negara super power anggota Dewan Keamanan PBB. Negara-negara tersebut
dinilai setengah-setengah dalam melakukan penanganan konflik etnis di Rwanda,
terlihat dari keengganan mereka untuk menerjunkan pasukan militer mereka ke
Rwanda. Mereka justru lebih memfokuskan pada perlindungan terhadap warga negara
asing maupun warga negaranya sendiri yang berada di negara Rwanda untuk segera
dipulangkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya PBB sebagai badan
internasional yang bercita-cita menciptakan perdamaian duniapun tetap saja
didalamnya dihuni oleh negara-negara yang masing-masing lebih mementingkan
tercapainya kepentingan nasional masing-masing.
III.
KESIMPULAN
Konflik yang terjadi di negara
Rwanda tergolong konflik etnis. Konflik yang terjadi antara etnis Hutu dan
Tutsi tersebut berakar dari perasaan dendam masa lalu pada saat kolonialisasi
Belgia. Belgia menciptakan stratifikasi sosial dengan memilih suku Tutsi
sebagai pemegang kekuasaan dan memarjinalkan suku Hutu. Hal tersebut yang
kemudian mempengaruhi kesejahteraan hidup suku Hutu yang merupakan suku
mayoritas di Rwanda. Puncaknya ketika masa dekolonisasi dan pemerintahan
kembali dapat direbut oleh suku Hutu menjadi momentum yang tepat untuk membalas
dendam pada suku Tutsi hingga berujung pada kejadian genosida yang memakan
hingga ratusan ribu jiwa.
Resolusi
konflik yang dilakukan PBB berupa peace
keeping yang bertujuan untuk pemeliharaan gencatan senjata sehingga
menciptakan kondisi yang kondusif untuk dilakukannya perundingan-perundingan.
Namun upaya PBB tersebut dinilai gagal karena genosida tetap terjadi di Rwanda
bahkan berujung pada penarikan pasukan dari Rwanda oleh PBB. PBB khususnya
negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB enggan untuk menerjunkan pasukan
tambahan guna kepentingan perdamaian di
Rwanda karena mereka tidak memiliki interest
di negara Rwanda. Hal ini sangat bertolak belakang dengan tujuan dan cita-cita
piagam PBB yakni mewujudkan dan memelihara perdamaian dunia.
[3] Linda Dwi Eriyanti ,S.Sos, M.Si,
Materi kuliah Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik. Unpublished.
[4] Diakses dari
http://acakanblog.blogspot.com/2010/12/rwanda.html
[5] Diakses dari http://adityahandaka.blogspot.com/2012/04/hukum-internasional_17.html
[6] Diakses dari
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/08/tentang-konflik-rwanda.html
[7] Ibid.
[9] Diakses dari
http://adityahandaka.blogspot.com/2012/04/hukum-internasional_17.html
[11] Ibid.
[12] Ria Almayrissa Suzan Silaban,
“TERSENDAT-SENDATNYA PEMULIHAN DAMAI ANTARA ISRAEL DAN PALESTINA DIBAWAH
PEMERINTAHAN PERDANA MENTERI BENJAMIN NETANYAHU”. Yogyakarta,2011. Hal .21
[13] Diakses dari
http://www.forumbebas.com/thread-164954.html
[14] Diakses dari
http://warofweekly.blogspot.com/2011/03/tantangan-dan-prospek-intervensi.html
thx for the paper
BalasHapus