Entri Populer

Sabtu, 02 Februari 2013

Efektifitas Penerapan Perjanjian Strategic Arms Limitation Treaty (SALT ) dalam Usaha Arms Control dan Dissarmament oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet Era Perang Dingin


BAB I
 PENDAHULUAN
1.1.            Latar belakang
Perang dingin merupakan salah satu produk yang dihasilkan pasca Perang Dunia kedua dan menghasilkan dua kekuatan utama dunia yaitu Amerika serikat dan Uni Soviet. Dalam perkembangannya intervensi kedua negara ini menentukan bentuk dari kondisi perpolitikan dunia internasional. Dua negara yang merupakan kekuatan utama ini membentuk sebuah kondisi perpolitikan yang memisahkan dunia menjadi dua kubu yaitu negara Amerika Serikat dengan ideologi liberalisme dan di sisi lainnya negara Uni soviet dengan ideologi komunisme. Terpecahnya Jerman, Korea, Vietnam adalah salah satu akibat dari hal yang dinamakan Perang Dingin.
Persaingan kedua kubu kekuatan uatama dunia selain dalam hal persiangan ideologi juga melakukan persaingan dalam hal persenjataan, termasuk senjata pemusnah masal atau nuklir yang telah berhasil dikembangkan oleh kedua negara tersebut. Senjata nuklir ini di bentuk dalam berbentuk rudal balistik baik jarak dekat, menengah bahkan antar benua. dan tentu saja jika terjadi pecah perang antar kedua negara ini maka dapat dipastikan akan terjadi penghancuran masal di dunia karena efek dahsyat dari bom atom berintikan Nuklir.[1]
Ditengah kondisi dunia seperti maka munculah ide untuk melakukan arm control and disarmament atau pengurangan senjata dan perlucutan senjata yaitu usaha untuk melakukan pengurangan terhadap peningkatan senjata antar kedua negara superpower agar tidak terjadi ancaman serius terhadap kondisi dunia. Dalam hubugan kedua negara tersebut pernah terjadi pengaplikasian konsep tersebut dalam sebuah pembicaraan serius yang dikenal dengan istilah Strategic Arms Limitation Treaty (SALT). SALT mengalami dua kali perjanjian yaitu SALT I dan SALT II di dalam pembicaraan disepakati tentang pengurangan senjata balistik jarak menengah dah antar benua antar Amerika Serikat dan Uni Soviet. namun dalam perjalanannya, perjajian ini mengalami banyak pelanggaran yang dilakukan oleh kedua belah pihak[2].

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis menemukan hal-hal yang dapat diangkat sebagai hal yang perlu dibahas lebih lanjut yang telah dirumuskan kedalam sebuah kalimat rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah penerapan Perjanjian SALT terhadap Arms Control dan Dissarmament antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin

1.3 Kerangka Teori
Dalam menganalisis permasalahan dalam tulisan ini penulis menggunakan konsep Arm Control. Dalam kondisi Arm Race yang telah mencapai titik klimaks yang terjadi antara dua negara super power yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet di era perang dingin. Negara tersebut kemudian memilih konsep Arm Control sebagai upaya dalam mengendalikan penggunaan dan produksi maupun pengadaan persenjataan. Hal ini dilakukan oleh negara agar terjadinya stabilitas politik dan militer dalam sistem internasional yang anarki yang mana situasi ini sangat mengkhawatirkan banyak pihak dalam sistem internasional ini. Penerapan konsep Arms Control ini merupakan langkah sebuah negara yang lebih bersifat diplomatis yang mana lebih mengarah kepada konsep perdamaian.[3].
Konsep Arm Control yang dilakukan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat karena menyadari dalam kondisi yang semakin meluasnya pengembangan persenjataan nuklir antara kedua negara justru juga turut membuat ancaman kepada kedua negara semakin besarbahkan bisa membahayakan dunia internasional. Sehigga Uni Soviet menerpakan konsep  pengendalian terhadap produksi dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir dan direalisasikan pertama kalinya yakni Strategic Arms Limitation Treaty (SALT) yang direkomendasikan kepada Amerika Serikat sebagai negara superpower lainnya.























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Strategic Arms Limitation Treaty (SALT)
Dengan berakhirnya Perang Dunia II yang bersamaan dengan kemenangan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara super power baru, menjadi awal dari perubahan konstalasi perpolitikan internasional. Menjadikan dunia Internasioanal bergelut dalam gejolak perang dingin. Berakhirnya perang dunia ke dua bukan berarti berakhir pula konflik dalam arena Internasional. Masih ada konflik hanya saja bukan konflik dalam bentuk genjatan senjata. Yang mereka namakan denagan perang dingin.  Perang dingin merupakan suatu kondisi dimana yang terjadi bukan perang tembakan senjata tetapi sebuah ketegangan yang terjadi karena adanya pembagian blok yang kedua – duanya sama – sama ingin menjadi dominan di dunia ini. Blok yang bersitegang adalah blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Masing – masing blok memiliki kepentingan yaitu penyebaran ideologi karena inginnya mereka mendominasi dunia Internasional. Ideologi yang ingin mereka sebarkan dan dijadikan persaingan yaitu ideologi Demokrasi Liberal yang dipegang oleh Amerika Serikat  dengan Sosialis Komunis yang dimiliki oleh Uni Soviet yang juga disertai dengan perkembangan teknologi persenjataan nuklir. Amerika Serikat ingin ideologi demokrasinya mendominasi dalam kehidupan Internasional sedangkan Uni Soviet sendiri ingin paham otoriternya pun menjadi dominan dalam kancah Internasional.
Dengan berbagai cara mereka mencoba untuk mendominasi dan menyebarkan paham atau ideologi yang mereka miliki ke berbagai belahan dunia. Karena kondisi persaingan yang semakin memanas antara dua kubu tersebut menjadikan kedua blok Negara super power itu mulai meningkatkan kekuatan nasionalnya masing – masing. Mulai dari membentuk aliansi-aliansi baru bersama sekutu-sekutunya sampai mengembangkan teknlogi senjata nuklir. Peningkatan kekuatan nasional itu dianggap sebagai ancaman bagi Negara yang menjadi lawannya tersebut. Hal ini dirasakan jelas oleh  Uni Soviet selama terjadinya Perang Dingin. Pengembangan kekuatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terutama dalam pengembangan senjata nuklir dan rudal-rudal jarak menengah (SLBM) hingga rudal-rudal antara benua atau ICBM (Inter Continental Ballistic Missile) yang mana pengembangan persenjataan itu merupakan persenjataan utama dalam rangka mendukung strategi keamanan Amerika Serikat yang ditambah dengan pengembangan kemampuan pesawat-pesawat pem bom yang membawa bom-bom nuklir untuk dijatuhkan ke wilayah sasaran tertentu.. Tindakan agresif Amerika Serikat ini dinilai sebagai sebuah ancaman bagi Uni Soviet.
Pengembangan kekuatan nasional dalam rangka terciptanya balance of power merupakan salah satu hal yang mau tidak mau harus di lakukan oleh Uni Soviet apalagi dalam persaingan dalam mencapai kepentingan nasional yang dalam hal ini adalah penyebaran ideologi masing-masing. Uni soviet pun harus mengambil tindakan serupa untuk merespon ancaman yang diluncurkan Amerika Serikat. Uni Soviet meresponnya dengan strategi yang selalu ingin ditempuh adalah bagaimana mengamankan wilayah sekitar perbatasan dengan membentuk daerah penyangga mengingat Uni Soviet sendiri merupakan bangsa yang selalu terancam.
Strategi yang ditempuh Uni Soviet adalah dengan menguasai Eropa Timur untuk melindungi wilayah Uni Soviet dari saingan utamanya. Tidak hanya itu upaya yang dilakukan Uni Soviet untuk mengimbangi kekuatan dan merespon ancaman dari tindakan agresif Amerika Serikat. Tindakan nyata yang dilakukan Uni Soviet dalam rangka menghadapi ancaman itu adalah dengan mengembangkan persenjataan nuklir. Terhitung dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 1960 sampai tahun 1970, Unio Soviet mampu mengembangkan ICBM hingga 1510 buah yang semula hanya mempunyai 4 buah.[4] Tetapi semakin meningkat dan meluasnya pengembangan persenjataan nuklir antara dua Negara super power itu justru akan menjadikan ancaman yang harus dihadapi masing – masing kubu semakin besar. Uni Soviet menyadari akan hal ini. Oleh karenanya Uni Soviet menerapkan sistem terhadap pengendalian terhadap produksi dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir yang dikenal dan dinamakan dengan Arms Control. Realisasi dari konsep pemabatasan persenjataan nuklir yang pertama kali adalah yang disebut dengan SALT (Strategic Arms Limitation Talk) yang pembiacaraannya dimulai pada November 1969.[5]
Perundingan untuk meredakan Perang Dingin dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet melalui Strategic Arms Limitation Talks (SALT), sama-sama mempunyai tujuan untuk menghindari perang nuklir yang membahayakan keselamatanumat manusia. Perundingan SALT secara umum mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Memperkecil kemungkinan terjadinya perang nuklir.
2. Apabila perang tidak dapat dihindarkan, diharapkan akibatnya tidak tidak              terlalu menghancurkan.
3. Menghemat biaya pertahanan.
4. Mencegah terjadinya perlombaan senjata strategis

2.2              Penerapan Strategic Arms Limitation Treaty.

SALT I tercetus oleh kesediaan kementrian Luar Negeri Uni Soviet dalam mendiskusikan senjata strategis keterbatasan dengan pihak Amerika. Amerika Serikat dan Uni Soviet bernegosiasi mengenai perjanjian pertama untuk menempatkan batas dan hambatan pada beberapa pusat persenjataan mereka (Negara) yang dianggap paling penting.  Perjanjian SALT I ini ditandatangani oleh Ricard Nixon (Presiden Amerika Serikat) dan Leonid Breshnev (Sekjen Partai Komunis Uni Soviet) pada tanggal 26 Mei 1972.[6] Pertemuan kedua perwakilan negara adidaya tersebut menyepakati bahwa:
a. Pembatasan terhadap sistem pertahanan anti peluru kendali (Anti-Ballistic Missile=ABM).
b.     Pembatasan Senjata-senjata ofensif strategis, seperti Inter-Continental Ballistic Missile (ICBM= Peluru Kendali Balistik Antarbenua) dan Sea-Launched Ballistic Missile (SLBM= Peluru Kendali Balistik yang dikendalikan dari laut atau kapal).
SALT I memberikan kesepakatan untuk membatasi jumlah misil nuklir yang dimiliki oleh kedua belah pihak Negara. Uni Soviet hanya mempunyai izin untuk memiliki misil maksimal 1600 misil, sedangkan AS hanya diijinkan memiliki 1054 misil.
Dengan berjalannya perjanjian SALT I ini, Uni Soviet merasa dirinya menjadi tidak kuat lagi menjalankan kesepakatan tersebut. Hal ini menyebabkan Soviet mengerahkan pasukannya pada Afganistan yang bertujuan untuk membantu rakyat Afganistan tersebut. Namun upaya yang dilakukan ini mendapatkan reaksi dari pihak Amerika Serikat. Presiden AS (Jimmy Carter) memberikan pernyataan bahwa agresi Uni Soviet di Afghanistan tersebut mengkonfrontasi dunia dengan tantangan strategis paling serius sejak Perang Dingin dimulai. Dengan keadaan ini AS berkeininan untuk menggunakan kekuatan militernya di Teluk Persia. Selain itu AS juga mendukung adanya pemberontakan anti-komunis di Afghanistan. AS juga memberikan ancaman tentang kemampuan nuklirnya dan ancaman serangannya.
Di tengah – tengah memanasnya ketegangan antara Uni Soviet dengan Amerika dan tidak pernah berkomitmen dengan perjanjian yang mereka buat sendiri, terlebih AS yang hingga saat ini tetap bersikeras untuk menerapkan proyek pertahanan anti rudal balisti dengan alasan untuk menandingi kemampuan rudal Rusia, mereka melakukan perjanjian SALT II (15 Juni 1979) di Vienna. Perjanjian ini  membatasi produksi dan penyimpanan senjata nuklir. Kedua belah pihak setuju untuk membatasi kepemilikan peluncuran senjata nuklir maksimal 2400 unit, dan maksimal 1320 unit Multiple Independently Targeted Reentry Vehicle (MIRV).[7]
Namun dalam SALT II ini tidak mendapatkan suatu upaya baik dari kedua belah pihak. Uni Soviet memiliki keunggulan dibandingkan Amerika Serikat. Soviet memiliki tingkat persenjataan dan kemiliteran yang lebih baik dibanding AS. Akan tetapi melihat kemampuan Soviet itu, AS tidak diam saja. Meskipun ada perjanjian SALT II ini, AS tetap mendorong aksinya dalam meruntuhkan paham komunis dan menyebabkan Soviet menjadi terpecah menjadi beberapa Negara. Hal ini menyebabkan Soviet menjadi kalah dalam perang dingin dan menyatakan bahwa Amerika yang telah memenangkannya.

2.3  Kelemahan Strategic Arms Limitation Treaty (SALT)

Munculnya ide arms control dan disarmament merupakan isu berskala internasional guna mengkontrol adanya arms race. Istilah disarmament merupakan istilah untuk pemusnahan persenjataan strategis sedangkan arms control lebih kepada pengurangan persenjataan.[8]
Hambatan dalam proses Arms Control and Disarmament terdiri dari 8 faktor, Faktor-faktor tersebut antara lain (Holsti 1987: 447-455)[9]:
1)                  Senjata dapat digunakan untuk menciptakan bargaining-power tetapi juga turut menyebabkan ketegangan internasional, sehingga ia dapat mengurangi kemungkinan bagi penyelesaian isu-isu politik yang belum terselesaikan.
2)                  Adanya overestimated terhadap kapasitas dan kapabilitas militer negara lain. Para pembuat kebijakan cenderung merasa bahwa program persenjataan mereka kembangkan dengan maksud defensif, tapi menganggap bahwa persenjataan lawan dimaksudkan untuk tujuan agresif.
3)                  Adanya dorongan dan akses yang mudah untuk memperoleh persenjataan serta kemajuan teknologi telah membuat senjata semakin up-date dengan aplikasi baru.
4)                  Kekhawatiran adanya serangan secara tiba-tiba dan penyebaran senjata nuklir sebagai tujuan utama untuk mempertahankan stabilitas wilayah.
5)                  Kekhawatiran akan perkembangan teknologi yang dilakukan oleh pihak lawan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas militer yang semakin kuat, terlebih dengan meningkatnya penyebaran nuklir, maka negosiasi dan perundingan arms control akan semakin sulit pula.
6)                  Adanya pertentangan mengenai masalah verifikasi. Karena perkembangan senjata yang semakin canggih dan semakin bertambahnya kemampuan pihak lain untuk mengubah keseimbangan militer yang ada dalam waktu singkat, maka kebutuhan untuk diadakan verifikasi seharusnya semakin meningkat pula, namun hal ini agaknya sulit untuk dilakukan
7)                  Masalah pencarian formula-rasio yang menguntungkan masing-masing pihak. Suatu formula pengurangan satu jenis senjata yang benar-benar bersifat kuantitatif bahkan mathematical-equity sekalipun mungkin akan menciptakan kontroversi.
8)                  perlombaan senjata dan adanya berbagai resiko yang ditimbulkan oleh arms control.
Kelemahan- kelemahan lain juga terlihat dalam perjanjian SALT I ataupun SALT II. Pengendalian senjata antara AS dengan Soviet dibicarakan dalam Strategic Arms Limitation Treaty (SALT). Tahun 1972, dihasilkan SALT I, yang berisi kesepakatan untuk membatasi pembangunan dan pembekuan sistem ABM dan menetapkan berbagai peringkat kekuatan senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara adidaya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi  tidak terjadi perang antara kedua negara tersebut. Pada 1979, pertemuan puncak di Wina antara Carter dengan Breznev menghasilkan kesepakatan yang disebut SALT II. Intervensi Soviet di Afganistan telah menyebabkan proses ratifikasi tertunda Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter menyatakan bahwa serbuan Uni Soviet adalah ancaman paling serius sejak Perang Dunia II, Carter nantinya mengembargo pengiriman bahan keperluan seperti butir padi dan teknologi tinggi untuk Uni Soviet dari Amerika Serikat.[10]
Dalam perjanjian SALT II menuai kecaman karena tiga alasan, yaitu perjanjian tersebut tidak mengikutsertakan kapabilitas nuklir negara-negara ketiga lainnya, seperti RRC; kurang memperhatikan persoalan hulu ledak nuklir yang merupakan masalah inti dari pengendalian senjata; dan terakhir adalahperjanjian tersebut gagal memisahkan kuantitas IRBM (rudal balistik jarak menengah) di Eropa Tengah yang makin meningkat[11]. Sehingga menyebabkan negara-negara yang memilki patron kepada negara tersebut digunakan sebagai ajang oleh negara patronnya untuk menggelar uji coba nuklir seperti halnya china.[12]
Masalah lain yang muncul adalah seperti belum dibahasnya juga mengenai pengadaan senjata nuklir jarak menengah seperti juga pesawat-pesawat pembom yang membawa nuklir-nuklir landas udara. Hal ini pula yang dikhawatirkan membawa dampak terhadap pengembangan persenjataan nuklir yang tidak dibatasi dalam SALT 1 tersebut. seperti contohnya yang dilakukan Amerika Serikat dengan mengembangkan MIRv’s (Multiple Independently Re-entry Vehicle) yaitu rudal nuklir landas darat (ICBM) yang dilengkapi sepuluh kepala nuklir pada setiap rudalnya. Sehingga walaupun ICBM nya dibatasi namun apabila satu rudal dapat dikembangkan jumlah kepala nuklirnya maka pembatasan tersebut dapat dibilang sia-sia[13].



BAB III
KESIMPULAN
Konsep Arms Control and Disarmament merupakan hal yang cukup positif dalam proses perdamaian dunia terutama pada saat itu dimana terjadi kekuatan Bipolar antara Uni soviet dan Amerika Serikat dimana  negara-negara tersebut memiliki kekuatan militer dengan persenjataan yang cukup besar dan cukup untuk kembali membuat dunia masuk kedalam perang besar seperti halnya Perang Dunia pertama dan Perang Dunia kedua yang cukup memakan banyak korban dan mengahncurkan perekonomian.
Disisi yang lain Konsep Arms Control and Disarmament akan menjadi sebuah hal yang tidak mugkin untuk dilakukan bahkan sia-sia jika tidak ada niat dari negara-negara yang memiliki kekuatan major power untuk melakukannya. Ini terlihat dari apa yag terjadi dalam Perjajian SALT I dan Perjanjian SALT II yang harus tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena negara-negara major power seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet melakukan pelanggaran dalam perjanjian tersebut baik dengan melakukan Invasi ke Afganistan.
Kegagalan perjanjian SALT I dan SALT II merupakan sebuah hal yang setidaknya harus dijadikan pelajaran oleh semua pihak dalam dunia interasional bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap sebuah perjanjian oleh satu negara saja maka imbasnya akan mengenai negara lain teruatama negara-negara minor power seperti negara-negara dunia ketiga.



[2] Ibid.
[6] Diakses dari http://muyas-orchid.blogspot.com/2009/10/karya-tulis-sejarah.html

[7] Diakses dari http://wulandecassiopeian.blogspot.com/

[9]ibid
[13] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar