BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
belakang
Perang
dingin merupakan salah satu produk yang dihasilkan pasca Perang Dunia kedua dan
menghasilkan dua kekuatan utama dunia yaitu Amerika serikat dan Uni Soviet.
Dalam perkembangannya intervensi kedua negara ini menentukan bentuk dari
kondisi perpolitikan dunia internasional. Dua negara yang merupakan kekuatan
utama ini membentuk sebuah kondisi perpolitikan yang memisahkan dunia menjadi
dua kubu yaitu negara Amerika Serikat dengan ideologi liberalisme dan di sisi lainnya
negara Uni soviet dengan ideologi komunisme. Terpecahnya Jerman, Korea, Vietnam
adalah salah satu akibat dari hal yang dinamakan Perang Dingin.
Persaingan kedua
kubu kekuatan uatama dunia selain dalam hal persiangan ideologi juga melakukan
persaingan dalam hal persenjataan, termasuk senjata pemusnah masal atau nuklir
yang telah berhasil dikembangkan oleh kedua negara tersebut. Senjata nuklir ini
di bentuk dalam berbentuk rudal balistik baik jarak dekat, menengah bahkan
antar benua. dan tentu saja jika terjadi pecah perang antar kedua negara ini
maka dapat dipastikan akan terjadi penghancuran masal di dunia karena efek
dahsyat dari bom atom berintikan Nuklir.[1]
Ditengah kondisi
dunia seperti maka munculah ide untuk melakukan arm control and disarmament
atau pengurangan senjata dan perlucutan senjata yaitu usaha untuk melakukan
pengurangan terhadap peningkatan senjata antar kedua negara superpower agar tidak
terjadi ancaman serius terhadap kondisi dunia. Dalam hubugan kedua negara
tersebut pernah terjadi pengaplikasian konsep tersebut dalam sebuah pembicaraan
serius yang dikenal dengan istilah Strategic
Arms Limitation Treaty (SALT). SALT mengalami dua kali perjanjian yaitu
SALT I dan SALT II di dalam pembicaraan disepakati tentang pengurangan senjata
balistik jarak menengah dah antar benua antar Amerika Serikat dan Uni Soviet. namun
dalam perjalanannya, perjajian ini mengalami banyak pelanggaran yang dilakukan
oleh kedua belah pihak[2].
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas, penulis menemukan hal-hal yang dapat diangkat sebagai hal yang
perlu dibahas lebih lanjut yang telah dirumuskan kedalam sebuah kalimat rumusan
masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah penerapan Perjanjian SALT
terhadap Arms Control dan Dissarmament antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
dalam Perang Dingin ”
1.3
Kerangka Teori
Dalam menganalisis
permasalahan dalam tulisan ini penulis menggunakan konsep Arm Control. Dalam kondisi Arm
Race yang telah mencapai titik klimaks yang terjadi antara dua negara super
power yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet di era perang dingin. Negara
tersebut kemudian memilih konsep Arm
Control sebagai upaya dalam mengendalikan penggunaan dan produksi
maupun pengadaan persenjataan. Hal ini dilakukan oleh negara agar terjadinya
stabilitas politik dan militer dalam sistem internasional yang anarki yang mana
situasi ini sangat mengkhawatirkan banyak pihak dalam sistem internasional ini.
Penerapan konsep Arms Control ini merupakan langkah sebuah negara yang lebih
bersifat diplomatis yang mana lebih mengarah kepada konsep perdamaian.[3].
Konsep Arm
Control yang dilakukan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat karena menyadari
dalam kondisi yang semakin meluasnya pengembangan persenjataan nuklir antara
kedua negara justru juga turut membuat ancaman kepada kedua negara semakin
besarbahkan bisa membahayakan dunia internasional. Sehigga Uni Soviet
menerpakan konsep pengendalian terhadap
produksi dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir dan
direalisasikan pertama kalinya yakni Strategic
Arms Limitation Treaty (SALT) yang direkomendasikan kepada Amerika Serikat
sebagai negara superpower lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Strategic Arms Limitation Treaty (SALT)
Dengan
berakhirnya Perang Dunia II yang bersamaan dengan kemenangan Amerika Serikat
dan Uni Soviet sebagai negara super power baru, menjadi awal dari perubahan
konstalasi perpolitikan internasional. Menjadikan dunia Internasioanal bergelut
dalam gejolak perang dingin. Berakhirnya perang dunia ke dua bukan berarti
berakhir pula konflik dalam arena Internasional. Masih ada konflik hanya saja
bukan konflik dalam bentuk genjatan senjata. Yang mereka namakan denagan perang
dingin. Perang dingin merupakan suatu
kondisi dimana yang terjadi bukan perang tembakan senjata tetapi sebuah
ketegangan yang terjadi karena adanya pembagian blok yang kedua – duanya sama –
sama ingin menjadi dominan di dunia ini. Blok yang bersitegang adalah blok
timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan blok barat yang dipimpin oleh
Amerika Serikat.
Masing
– masing blok memiliki kepentingan yaitu penyebaran ideologi karena inginnya
mereka mendominasi dunia Internasional. Ideologi yang ingin mereka sebarkan dan
dijadikan persaingan yaitu ideologi Demokrasi Liberal yang dipegang oleh
Amerika Serikat dengan Sosialis Komunis
yang dimiliki oleh Uni Soviet yang juga disertai dengan perkembangan teknologi
persenjataan nuklir. Amerika Serikat ingin ideologi demokrasinya mendominasi
dalam kehidupan Internasional sedangkan Uni Soviet sendiri ingin paham
otoriternya pun menjadi dominan dalam kancah Internasional.
Dengan
berbagai cara mereka mencoba untuk mendominasi dan menyebarkan paham atau ideologi
yang mereka miliki ke berbagai belahan dunia. Karena kondisi persaingan yang
semakin memanas antara dua kubu tersebut menjadikan kedua blok Negara super
power itu mulai meningkatkan kekuatan nasionalnya masing – masing. Mulai dari
membentuk aliansi-aliansi baru bersama sekutu-sekutunya sampai mengembangkan
teknlogi senjata nuklir. Peningkatan kekuatan nasional itu dianggap sebagai
ancaman bagi Negara yang menjadi lawannya tersebut. Hal ini dirasakan jelas
oleh Uni Soviet selama terjadinya Perang
Dingin. Pengembangan kekuatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat terutama
dalam pengembangan senjata nuklir dan rudal-rudal jarak menengah (SLBM) hingga
rudal-rudal antara benua atau ICBM (Inter Continental Ballistic Missile) yang
mana pengembangan persenjataan itu merupakan persenjataan utama dalam rangka
mendukung strategi keamanan Amerika Serikat yang ditambah dengan pengembangan
kemampuan pesawat-pesawat pem bom yang membawa bom-bom nuklir untuk dijatuhkan
ke wilayah sasaran tertentu.. Tindakan agresif Amerika Serikat ini dinilai
sebagai sebuah ancaman bagi Uni Soviet.
Pengembangan
kekuatan nasional dalam rangka terciptanya balance of power merupakan salah
satu hal yang mau tidak mau harus di lakukan oleh Uni Soviet apalagi dalam
persaingan dalam mencapai kepentingan nasional yang dalam hal ini adalah penyebaran
ideologi masing-masing. Uni soviet pun harus mengambil tindakan serupa untuk
merespon ancaman yang diluncurkan Amerika Serikat. Uni Soviet meresponnya
dengan strategi yang selalu ingin ditempuh adalah bagaimana mengamankan wilayah
sekitar perbatasan dengan membentuk daerah penyangga mengingat Uni Soviet
sendiri merupakan bangsa yang selalu terancam.
Strategi
yang ditempuh Uni Soviet adalah dengan menguasai Eropa Timur untuk melindungi
wilayah Uni Soviet dari saingan utamanya. Tidak hanya itu upaya yang dilakukan
Uni Soviet untuk mengimbangi kekuatan dan merespon ancaman dari tindakan
agresif Amerika Serikat. Tindakan nyata yang dilakukan Uni Soviet dalam rangka
menghadapi ancaman itu adalah dengan mengembangkan persenjataan nuklir.
Terhitung dalam kurun waktu 10 tahun dari tahun 1960 sampai tahun 1970, Unio
Soviet mampu mengembangkan ICBM hingga 1510 buah yang semula hanya mempunyai 4
buah.[4]
Tetapi semakin meningkat dan meluasnya pengembangan persenjataan nuklir antara
dua Negara super power itu justru akan menjadikan ancaman yang harus dihadapi
masing – masing kubu semakin besar. Uni Soviet menyadari akan hal ini. Oleh
karenanya Uni Soviet menerapkan sistem terhadap pengendalian terhadap produksi
dan pengadaan serta pengembangan persenjataan nuklir yang dikenal dan dinamakan
dengan Arms Control. Realisasi dari konsep pemabatasan persenjataan nuklir yang
pertama kali adalah yang disebut dengan SALT (Strategic Arms Limitation Talk)
yang pembiacaraannya dimulai pada November 1969.[5]
Perundingan
untuk meredakan Perang Dingin dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet
melalui Strategic Arms Limitation Talks (SALT), sama-sama mempunyai tujuan
untuk menghindari perang nuklir yang membahayakan keselamatanumat manusia.
Perundingan SALT secara umum mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.
Memperkecil kemungkinan terjadinya perang nuklir.
2.
Apabila perang tidak dapat dihindarkan, diharapkan akibatnya tidak tidak terlalu menghancurkan.
3.
Menghemat biaya pertahanan.
4. Mencegah terjadinya perlombaan
senjata strategis
2.2
Penerapan
Strategic Arms Limitation Treaty.
SALT I tercetus
oleh kesediaan kementrian Luar Negeri Uni Soviet dalam mendiskusikan senjata
strategis keterbatasan dengan pihak Amerika. Amerika Serikat dan Uni Soviet
bernegosiasi mengenai perjanjian pertama untuk menempatkan batas dan hambatan
pada beberapa pusat persenjataan mereka (Negara) yang dianggap paling
penting. Perjanjian SALT I ini
ditandatangani oleh Ricard Nixon (Presiden Amerika Serikat) dan Leonid Breshnev
(Sekjen Partai Komunis Uni Soviet) pada tanggal 26 Mei 1972.[6]
Pertemuan kedua perwakilan negara adidaya tersebut menyepakati bahwa:
a.
Pembatasan terhadap sistem pertahanan anti peluru kendali (Anti-Ballistic
Missile=ABM).
b. Pembatasan
Senjata-senjata ofensif strategis, seperti Inter-Continental Ballistic Missile
(ICBM= Peluru Kendali Balistik Antarbenua) dan Sea-Launched Ballistic Missile
(SLBM= Peluru Kendali Balistik yang dikendalikan dari laut atau kapal).
SALT
I memberikan kesepakatan untuk membatasi jumlah misil nuklir yang dimiliki oleh
kedua belah pihak Negara. Uni Soviet hanya mempunyai izin untuk memiliki misil
maksimal 1600 misil, sedangkan AS hanya diijinkan memiliki 1054 misil.
Dengan
berjalannya perjanjian SALT I ini, Uni Soviet merasa dirinya menjadi tidak kuat
lagi menjalankan kesepakatan tersebut. Hal ini menyebabkan Soviet mengerahkan
pasukannya pada Afganistan yang bertujuan untuk membantu rakyat Afganistan
tersebut. Namun upaya yang dilakukan ini mendapatkan reaksi dari pihak Amerika
Serikat. Presiden AS (Jimmy Carter) memberikan pernyataan
bahwa agresi Uni Soviet di Afghanistan tersebut mengkonfrontasi dunia dengan
tantangan strategis paling serius sejak Perang Dingin dimulai. Dengan keadaan
ini AS berkeininan untuk menggunakan kekuatan militernya di Teluk Persia.
Selain itu AS juga mendukung adanya pemberontakan anti-komunis di Afghanistan.
AS juga memberikan ancaman tentang kemampuan nuklirnya dan ancaman serangannya.
Di
tengah – tengah memanasnya ketegangan antara Uni Soviet dengan Amerika dan
tidak pernah berkomitmen dengan perjanjian yang mereka buat sendiri, terlebih
AS yang hingga saat ini tetap bersikeras untuk menerapkan proyek pertahanan
anti rudal balisti dengan alasan untuk menandingi kemampuan rudal Rusia, mereka
melakukan perjanjian SALT II (15 Juni 1979) di Vienna. Perjanjian ini membatasi produksi dan penyimpanan senjata
nuklir. Kedua belah pihak setuju untuk membatasi kepemilikan peluncuran senjata
nuklir maksimal 2400 unit, dan maksimal 1320 unit Multiple Independently
Targeted Reentry Vehicle (MIRV).[7]
Namun
dalam SALT II ini tidak mendapatkan suatu upaya baik dari kedua belah pihak.
Uni Soviet memiliki keunggulan dibandingkan Amerika Serikat. Soviet memiliki
tingkat persenjataan dan kemiliteran yang lebih baik dibanding AS. Akan tetapi
melihat kemampuan Soviet itu, AS tidak diam saja. Meskipun ada perjanjian SALT
II ini, AS tetap mendorong aksinya dalam meruntuhkan paham komunis dan
menyebabkan Soviet menjadi terpecah menjadi beberapa Negara. Hal ini
menyebabkan Soviet menjadi kalah dalam perang dingin dan menyatakan bahwa
Amerika yang telah memenangkannya.
2.3 Kelemahan Strategic Arms Limitation
Treaty (SALT)
Munculnya
ide arms control dan disarmament merupakan isu berskala
internasional guna mengkontrol adanya arms
race. Istilah disarmament merupakan
istilah untuk pemusnahan persenjataan strategis sedangkan arms control lebih
kepada pengurangan persenjataan.[8]
Hambatan
dalam proses Arms Control and Disarmament
terdiri dari 8 faktor, Faktor-faktor
tersebut antara lain (Holsti 1987:
447-455)[9]:
1)
Senjata dapat digunakan untuk
menciptakan bargaining-power tetapi juga turut menyebabkan ketegangan
internasional, sehingga ia dapat mengurangi kemungkinan bagi penyelesaian
isu-isu politik yang belum terselesaikan.
2)
Adanya overestimated terhadap kapasitas
dan kapabilitas militer negara lain. Para pembuat kebijakan cenderung merasa
bahwa program persenjataan mereka kembangkan dengan maksud defensif, tapi
menganggap bahwa persenjataan lawan dimaksudkan untuk tujuan agresif.
3)
Adanya dorongan dan akses yang mudah
untuk memperoleh persenjataan serta kemajuan teknologi telah membuat senjata
semakin up-date dengan aplikasi baru.
4)
Kekhawatiran adanya serangan secara
tiba-tiba dan penyebaran senjata nuklir sebagai tujuan utama untuk
mempertahankan stabilitas wilayah.
5)
Kekhawatiran akan perkembangan teknologi
yang dilakukan oleh pihak lawan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas militer
yang semakin kuat, terlebih dengan meningkatnya penyebaran nuklir, maka
negosiasi dan perundingan arms control akan semakin sulit pula.
6)
Adanya pertentangan mengenai masalah
verifikasi. Karena perkembangan senjata yang semakin canggih dan semakin
bertambahnya kemampuan pihak lain untuk mengubah keseimbangan militer yang ada
dalam waktu singkat, maka kebutuhan untuk diadakan verifikasi seharusnya
semakin meningkat pula, namun hal ini agaknya sulit untuk dilakukan
7)
Masalah pencarian formula-rasio yang
menguntungkan masing-masing pihak. Suatu formula pengurangan satu jenis senjata
yang benar-benar bersifat kuantitatif bahkan mathematical-equity sekalipun
mungkin akan menciptakan kontroversi.
8)
perlombaan senjata dan adanya berbagai
resiko yang ditimbulkan oleh arms control.
Kelemahan-
kelemahan lain juga terlihat dalam perjanjian SALT I ataupun SALT II. Pengendalian
senjata antara AS dengan Soviet dibicarakan dalam Strategic Arms
Limitation Treaty (SALT). Tahun 1972, dihasilkan SALT I, yang berisi
kesepakatan untuk membatasi pembangunan dan pembekuan sistem ABM dan menetapkan
berbagai peringkat kekuatan senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara
adidaya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
tidak terjadi perang antara kedua negara tersebut. Pada 1979, pertemuan
puncak di Wina antara Carter dengan Breznev menghasilkan kesepakatan yang
disebut SALT II. Intervensi Soviet di Afganistan telah menyebabkan proses
ratifikasi tertunda Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter menyatakan bahwa
serbuan Uni Soviet adalah ancaman paling serius sejak Perang Dunia II, Carter
nantinya mengembargo pengiriman bahan keperluan seperti butir padi dan
teknologi tinggi untuk Uni Soviet dari Amerika
Serikat.[10]
Dalam
perjanjian SALT II menuai kecaman karena tiga alasan, yaitu perjanjian tersebut
tidak mengikutsertakan kapabilitas nuklir negara-negara ketiga lainnya, seperti
RRC; kurang memperhatikan persoalan hulu ledak nuklir yang merupakan masalah
inti dari pengendalian senjata; dan terakhir adalahperjanjian tersebut gagal
memisahkan kuantitas IRBM (rudal balistik jarak menengah) di Eropa Tengah yang
makin meningkat[11].
Sehingga menyebabkan negara-negara yang memilki patron kepada negara tersebut
digunakan sebagai ajang oleh negara patronnya untuk menggelar uji coba nuklir
seperti halnya china.[12]
Masalah lain
yang muncul adalah seperti belum dibahasnya juga mengenai pengadaan senjata
nuklir jarak menengah seperti juga pesawat-pesawat pembom yang membawa
nuklir-nuklir landas udara. Hal ini pula yang dikhawatirkan membawa dampak
terhadap pengembangan persenjataan nuklir yang tidak dibatasi dalam SALT 1
tersebut. seperti contohnya yang dilakukan Amerika Serikat dengan mengembangkan
MIRv’s (Multiple Independently Re-entry Vehicle) yaitu rudal nuklir landas
darat (ICBM) yang dilengkapi sepuluh kepala nuklir pada setiap rudalnya.
Sehingga walaupun ICBM nya dibatasi namun apabila satu rudal dapat dikembangkan
jumlah kepala nuklirnya maka pembatasan tersebut dapat dibilang sia-sia[13].
BAB III
KESIMPULAN
Konsep
Arms Control and Disarmament merupakan
hal yang cukup positif dalam proses perdamaian dunia terutama pada saat itu
dimana terjadi kekuatan Bipolar antara Uni soviet dan Amerika Serikat
dimana negara-negara tersebut memiliki
kekuatan militer dengan persenjataan yang cukup besar dan cukup untuk kembali
membuat dunia masuk kedalam perang besar seperti halnya Perang Dunia pertama
dan Perang Dunia kedua yang cukup memakan banyak korban dan mengahncurkan
perekonomian.
Disisi
yang lain Konsep Arms Control and
Disarmament akan menjadi sebuah hal yang tidak mugkin untuk dilakukan
bahkan sia-sia jika tidak ada niat dari negara-negara yang memiliki kekuatan major power untuk melakukannya. Ini
terlihat dari apa yag terjadi dalam Perjajian SALT I dan Perjanjian SALT II
yang harus tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena negara-negara major power seperti Amerika Serikat dan
Uni Soviet melakukan pelanggaran dalam perjanjian tersebut baik dengan
melakukan Invasi ke Afganistan.
Kegagalan
perjanjian SALT I dan SALT II merupakan sebuah hal yang setidaknya harus dijadikan
pelajaran oleh semua pihak dalam dunia interasional bahwa jika terjadi
pelanggaran terhadap sebuah perjanjian oleh satu negara saja maka imbasnya akan
mengenai negara lain teruatama negara-negara minor power seperti negara-negara
dunia ketiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar