Berikut
definisi konflik menurut beberapa ahli antara lain :
1. Konflik
adalah perbedaan pandangan atau ide antara seseorang dan orang lain (Gillies,
1994). Konflik adalah segala macam pertentangan intervensi atau antagonistik
antara dua pihak atau lebih (Handoko, 1997)[1].
2. Menurut
Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya
keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau
lebih pihak secara berterusan[2].
3. Menurut
Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud
dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah suatu situasi dimana dua
atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang
menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan
satu dengan yang lainnya[3].
Berdasarkan
definisi konflik oleh para ahli tersebut, konflik dapat diartikan sesuatu yang
muncul ketika terjadi interaksi antara dua pihak atau lebih yang kemudian pihak
yang berinteraksi tersebut mengalami perbedaan pendapat, pandangan, atau ide
sehingga kemudian melahirkan kondisi yang saling bertentangan antara kedua
belah pihak dalam mencapai tujuan bersama dalam masyarakat. Keberadaan konflik
tidak dapat dipungkiri akan selalu muncul dalam masyarakat selama masih terjadi
proses interaksi di dalamnya. Konflik dapat bersifat fungional dan juga
disfungsional. Konflik fungsional jika konflik dapat dikelola dengan baik dan
tidak mengarah pada kekerasan justru menghasilkan keputusan serta solusi yang
menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan kebalikannya konflik disfungsional
ketika konflik tidak mendapatkan pengelolaan dengan baik sehingga ujung dari
konflik tersebut mengarah pada kekerasan.
Salah
satu contoh konflik yang saya ambil disini adalah konflik antara etnis Hutu dan
Tutsi di negara Rwanda. Dengan berdasarkan pada teori konflik dalam hal ini
saya menggunakan kerangka berpikir teori masyarakat untuk menganalisis konflik
etnis yang terjadi di negara Rwanda. Fokus dalam teori masyarakat terletak pada
faktor-faktor seperti kekuatan, etnis, politik, ekonomi, dan ideologi. Konflik
etnis yang terjadi di Rwanda ini dapat dianalisi mulai pembentukan negara
Rwanda itu sendiri.
Negara
Rwanda awalnya merupakan negara Monarkhi hingga datangnya negara kolonial Eropa
Barat yakni khususnya Negara Belgia. Pada masa penjajahan Belgia dan kekuasaan
pemerintahan berada dibawah kendali Belgia, Belgia melakukan diversifikasi suku
antara suku Hutu dengan suku Tutsi. Karena suku Tutsi lebih memiliki penampilan
fisik yang menarik daripada suku Hutu, dan kemudian lebih memilih suku Tutsi
untuk duduk di pemerintahan[4].
Berdasarkan teori masyarakat dimana suatu bentuk tatanan sosial yang dibentuk
oleh beberapa orang dan dipaksakan terhadap beberapa yang lain cukup jelas
dapat menjelaskan fenomena konflik yang terjadi di Rwanda. Tatanan sosial dalam
hal ini diversifikasi suku yang dilakukan Belgia menjadi penyulut api pertama
konflik etnis yang terjadi di Rwanda.
Asumsi
teori masyarakat berikutnya adalah terdapat diskriminasi dan fragmentasi dalam struktur sosial. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya diversifikasi suku sehingga menyebabkan terjadinya marjinalisasi
etnis yang dilakukan Belgia terhadap etnis-etnis yang mendiami negara Rwanda
tersebut khususnya kepada etnis Hutu, menimbulkan kebencian dan kecemburuan
sosial suku Hutu terhadap suku tutsi yang sangat akut dan mengakar dan nantinya
akan berujung pada terjadinya konflik kekerasan dari suku Hutu terhadap suku
Tutsi.
Selain
itu terdapat asumsi bahwa negara yang lemah atau runtuh dapat menyebabkan
konflik. Asumsi ini juga cocok dengan keadaan negara Rwanda, terutama pada saat
terjadinya kekosongan kekuasaan pasca terbunuhnya presiden Rwanda yakni Habyarimana
menjadi awal dari terjadinya peristiwa pembunuhan massal yang dikenal dengan
istilah genosida. Pembunuhan massal ini dilakukan oleh pasukan khusus pengawal
presiden yang bekerjasama dengan kelompok militan Interahamwe dan Impuzamugambi[5].
Terbunuhnya sang presiden yang berasal dari suku Hutu tersebut disinyalir
sebagai salah satu bentuk protes dari suku Hutu terhadap upaya presiden untuk
membentuk negara yang multietnis, khususnya ingin menyatukan kembali dua suku
di Rwanda yakni Hutu dan Tutsi. Namun karena sudah tersulut api dendam dan
sakit hati sejak jaman kolonialisme membuat suku Hutu bersikukuh mempertahankan
pemerintahan negara dengan satu suku.
Dengan
terbunuhnya presiden Habyarimana menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan
sehingga disini negara dianggap lemah sehingga menjadi momen yang tepat untuk
melakukan tindakan balas dendam sehingga terjadilah pembunuhan massal
(genosida). Korban yang sesungguhnya dalam kasus Genosida di Rwanda merupakan
suku Tutsi, hampir 800.000 penduduk Rwanda yang terbunuh adalah suku Tutsi,
mayat suku Tutsi dibuang ke sungai dan pembunuh mengatakan jika mereka akan
dikirim kembali ke Ethiopia, tempat asal mereka[6].
Konflik etnis di Rwanda ini tidak seharusnya terjadi jika benar-benar
mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional dalam menemukan solusi
dari konflik etnis itu
[1] Diakses dari
http://jabbarbtj.blogspot.com/2012/09/manajemen-konflik.html
[2] Diakses dari
http://star234.blogspot.com/2012/09/konflik.html
[3]
Diakses dari
http://linasilviana.wordpress.com/2012/09/09/menajemen-konflik/
[5] Diakses dari http://djangka.org/2012/08/13/analisis-konflik-rwanda-faktor-penyebab-dan-upaya-penyelesaiannya/
[6] Diakses dari
http://djangka.org/2012/08/13/analisis-konflik-rwanda-faktor-penyebab-dan-upaya-penyelesaiannya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar