Entri Populer

Sabtu, 02 Februari 2013

UPAYA RESOLUSI KONFLIK COERSIVE OLEH RUSIA DALAM KONFLIK GEORGIA – OCETIA SELATAN


Oleh:
Redha Irawan           090910101001
Rozi Rastafani           090910101004
Rezita Nailul A.         090910101005
Rizqi Amallina           090910101006
Aprilia Santi              090910101007
Dewi Rahayu             090910101008
Nadia Meyta              090910101009
Rina Novita                090910101010
Flora Vomica             090910101011
Sylvia Dwi A              090910101012
Arif Frastiawan         090910101013
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2012
BAB. 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Provinsi di Georgia yang bernama Ossetia Selatan yang berusaha memisahkan diri dari negara Georgia dan mendapatkan kemerdekaan efektifnya yang diperoleh melalui perang tahun 1991-1992. Pada 6 Agustus, tentara Georgia membombardir Ossetia Selatan dengan tujuan merebut kembali kontrol di provinsi, yang ingin bergabung dengan Ossetia Utara, di Rusia. Dua wilayah ini dipisahkan dengan garis perbatasan Rusia-Georgia. Provinsi separatis di Georgia ini didominasi etnis Ossetia. Provinsi tersebut juga berusaha menggusur etnis Georgia yang tinggal di Ossetia Selatan.
            Pemerintah Georgia menyatakan serangan itu dimaksudkan untuk merebut kembali kemerdekaan Osetia Selatan. Menteri Reintegrasi Georgia Temur Yakobashvili mengatakan Georgia tidak bermaksud menghancurkan Tskhinvali ibukota Ossetia Selatan, tetapihanya ”menetralisasi posisi separatis”. Walaupun telah merdeka tapi kedaulatan republic ini tidak diakui secara internasional. Georgia tidakmengakui status Ossetia Selatan sebagai suatu entitas tersendiri.Georgia tetap menganggap Ossetia Selatan merupakan bagian dari negara Georgia.
            Operasi militer itu digelar sepekan setelah bentrokan antara kelompok separatis di Ossetia Selatan dan tentara Georgia, yang menewaskan 20 orang. Serangan militer itu pecah hanya beberapa jam setelah Saakashvili mengumumkan gencatan senjata unilateral, Kamis malam, yang mendesak pemimpin separatis Ossetia Selatan memulai perundingan untuk menyelesaikan konflik.
Masalah muncul saat Georgia menuding Rusia, yang menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Ossetia Selatan, ikut campur. Empat pesawat jet pengebom Rusia memasuki wilayah udara Georgia dan menjatuhkan dua bom di kota Goridan Desa Kareli dan Variani. Pada Jumat 8 Agustus, sekitar 2.500 tentara Rusia memasuki dan menyerang wilayah Georgia dengan tujuan membantu separatis Ossetia Selatan dengan menggunakan pesawat tempur dan tank-tank. Pada hari Sabtu, Rusia mengatakan Tskhinvali sudah dibebaskan dari cengkeraman tentara Georgia. ”Beberapa batalion yang taktis telah membebaskan Tskhinvali,” kata Jenderal Vladimir Boldyrev, Kepala Pasukan Darat Rusia.
Hubungan Rusiadan Georgia memburuk karena persoalan Ossetia Selatan dan provinsi lainnya di Georgia yang memisahkan diri, Abkhazia. Hubungan kian memburuk tahun ini setelah Georgia bermaksud bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Rusia menambah pasukan di Abkhazia. Akhirnya, karena ia tidak senang urusan dalam negerinya dicampuri oleh negara lain, Presiden Georgia Mikhail Saakashvili mengeluarkan dekrit yang menyatakan negara dalam keadaan perang, yang berarti negara juga berada dalam keadaan darurat selama 15 hari sejak Sabtu 9 Agustus. Hingga Rabu 13 Agustus sudah ratusan ribu warga sipil tewas dan ribuan rumah rata dengan tanah di Georgia dan Ossetia Selatan.[1]
Rusia dan Georgia adalah negara yang sebenarnya bertetangga tetapi memiliki hubungan yang kurang harmonis. Memburuknya hubungan keduanya karena Georgia mengusir 4 orang diplomat Rusia dengan tuduhan spionase. Rusia pun membalas reaksi Georgia tersebut dengan memblokade Georgia dan mengusir puluhanribu warga Georgia yang tinggal di Rusia.[2] Rusia mendukung Ossetia selatan dalam konflik ini karena sebagian warganya mendiami Ossetia selatan. Penulis mengangkat masalah tentang intervensi Rusia yang terlalu jauh terlibat dalam penyelesaian konflik ini dimana hal tersebut semakin menambah pelik konflik yang terjadi.



1.2  Rumusan Masalah
Permasalahan sangat penting dalam suatu penulisan karya tulis ilmiah karena akan memberikan suatu pusat pemikiran agar pembahasan dan analisa dapat berlangsung dengan baik. Permasalahan bisa dianologikan sebagai jiwa penelitian yang menuntut jawaban. Sehingga permasalahan tersebut perlu dipecahkan, baik mengenai wawasan atau pengertiannya. Dalam hal ini, diharapkan akan ditemukan suatu jawaban dari permasalahan yang kita kaji. Sehingga tidak semua kajian bisa disebut sebagai masalah.Dalam karya tulis ini penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana terjadinya intervensi Rusia dalam konflik Georgia dan Ossetia Selatan?

1.3  Kerangka Teori
Dalam konflik Georgia dengan Ossetia Selatan ini kami menggunakan teori kekuasaan.  Menurut Max Weber kekuasaan adalah kemungkinan yang membuat seseorang di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan menyingkirkan segala halangan yang melintas dihadapannya.[3] Teori kekuasaan ini memiliki konsep yaitu Coercive Power dimana konsep ini mengusungkemampuan untuk menghukum atau memperlakukan seseorang yang tidak melakukan permintaan atau perintah. [4] Konsep ini terbukti dengan terlibatnya Rusia dalam konflik Georgia dan Ossetia Selatan sebagai negara yang menginginkan Georgia agar tidak melakukan penyerangan ke Ossetia Selatan karena ingin memerdekakan diri dari wilayahnya. Pada dasarnya Rusia hanya ingin membantu dan melindungi Ossetia Selatan dari serangan Georgia sebagai negara penyeimbang karena Georgia dibantu AS (Amerika Serikat). Namun kenyataannya pada tanggal 8 Agustus 2008 saat terjadi perang antara Georgia dan Ossetia Selatan, Rusia turun tangan karena Georgia tiba-tiba menyerang pangkalan milik pasukan perdamaian Rusia.[5] Dengan adanya bantuan dari Rusia, Ossetia Selatan dapat merebut kembali wilayahnya. Sayangnya Rusia yang awalanya hanya beroperasi di daerah Ossetia Selatan malah balik menyerang kota Gori yang dijadikan markas Georgia untuk menyerang Ossetia Selatan dan Tbilisi (Ibukota Georgia) sehingga aktivitas transportasi Georgia menjadi lumpuh. Upaya yang dilakukan oleh Rusia tersebut semata-mata agar terjadi gencatan senjatasalah satu pihak (win-lose solution) . Dimana pihak yang diinginkan untuk kalah yakni Georgia.



BAB. 2 PEMBAHASAN
2.1 Profil Negara
Georgia merupakan sebuah negara bagian AmerikaSerikat. Negara bagian ini terletak di bagian tenggara. Ibukotadari Georgia adalah Atlanta. Georgia merupakan sebuah Negara transbenua disebelah timur laut hitam dan di selatan kaukasus antara benua eropa dan benua asia.[6] Bekas republik di Uni Soviet ini berbatasan dengan Rusia di sebelah utara, Turki di sebelah baratdaya, Armenia di sebelah selatan serta Azerbaijan di sebelah timur. Luas wilayah Georgia 69.700 km², berpenduduk 4,4 juta jiwa (tidak termasuk Abkhazia dan Ossetia Selatan), 84% dari jumlah penduduk beretnis Georgia.
Suku yang pertama kali mendiami Negara Georgia adalah proto-georgia. Di Negara iniada 53 provinsi, 11 kota dan 2 republik otonomi. Ada 3 kota besar yang memiliki banyak penduduk, yaitu kota Tbilisi dengan jumlah penduduk  1.066.100 jiwa, Kutaisi dengan jumlah penduduk 183. 300, dan kota Batumi dengan 116.900 jiwa. Bahasa yang digunakan di Negara Georgia sebagian besar 93% dari penduduk Georgia menggunakan bahasa silirik dan sisanya 7% dari Negara Georgia menggunakan bahasa rusia.[7]
2.2 Sejarah terpecahnya Georgia dengan Ocetia selatan
            Sejak abad ke-19 wilayah Kaukasus termasuk didalamnya Ossetia dan Georgia menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia, menyusul tumbangnya rezim kekaisaran di tahun 1917 yang digantikan oleh rezim republik komunis Uni Soviet, wilayah Ossetia lalu dibagi menjadi dua yakni wilayah utara yang menjadi bagian dari negara bagian Rusia dan wilayah selatan yang menjadi bagian dari negara bagian Georgia[8]. Georgia merupakan salah satu negara dibawah kekuasaan Imperium Rusia dan sempat merdeka pada tahun 1918, namun kembali jatuh ke tangan Uni Soviet pada tahun 1922 hingga kemudian memerdekakan diri pasca runtuhnya Uni Soviet. Selama dibawah kekuasaan Uni Soviet Georgia tidak dapat bebas bergerak dan melakukan aktivitas secara politik karena dalam naungan kebijakan rezim komunis Uni Soviet.
            Sedangkan Ossetia sendiri merupakan wilayah yang berada dalam kedaulatan negara Georgia pasca keruntuhan Uni Soviet. Ossetia terbagi dalam dua negara yaitu Ossetia Utara di Rusia dan Ossetia Selatan berada di wilayah kedaulatan Georgia, dan pasca runtuhnya Uni Soviet Ossetia mulai merasa terancam dengan berbagai kebijakan domestik Georgia seperti penetapan bahasa Georgia sebagai bahasa nasional di seluruh wilayah Georgia, sementara orang-orang Ossetia menuntut agar bahasa mereka juga menjadi bahasa resmi untuk wilayah Ossetia Selatan[9]. Selama dibawah kekuasaan rezim komunis Soviet, wilayah Ossetia ini diberi kebebasan untuk menggunakan kultur dan bahasa mereka sendiri. Pada masa kekuasaan Georgia, kebijakan domestik Georgia menyangkut bahasa nasional tersebut membuat Ossetia menjadi tertekan dan terancam sehingga memunculkan gerakan separatisme untuk memerdekakan diri.
            Keruntuhan Uni Soviet dan tekanan kebijakan domestik Georgia menjadi momen dan alasan yang tepat oleh Ossetia untuk memerdekakan diri. Diawali dengan munculnya gerakan separatisme Ossetia terhadap Georgia. Gerakan separatisme Ossetia tersebut mendapat dukungan dari Rusia, hal ini dikarenakan faktor geografis dimana wilayah Ossetia selatan berbatasan langsung dengan wilayah Rusia. Hal tersebut yang menjadi bahan pertimbangan oleh Rusia untuk membantu Ossetia karena jika Georgia berhasil menguasai Ossetia maka dikhawatirkan Georgia sewaktu-waktu mudah menyerang Rusia yang memang berbeda ideologi karena kebijakan domestik Georgia sangat pro Barat. Hal tersebut diperkuat dengan kerjasama yang dilakukan Georgia dengan Amerika Serikat di bidang militer dengan dalih tujuan memerangi terorisme[10]. Sehingga dari sinilah muncul security dilemma dari Rusia yang kemudian berjuang membantu gerakan separatisme Ossetia Selatan secara terang-terangan.
2.3 Konflik yang terjadi antara Georgia dan Ocetia
Meskipun dalam satu region dan merupakan dua negara yang saling bertetangga dekat, namun Rusia dan Georgia memiliki hubungan yang kurang harmonis. Sejak Revolusi Mawar pada tahun 2003 yang menurunkan Menteri Luar Negeri Eduard Shevardnadze pada era Uni Soviet dan digantkan oleh Mikheil Shaakhasvilli pada kursi kepresidenan, Georgia mengalihkan pandanganya yang semula memihak Rusia menjadi berpaling pada Eropa dan Amerika Serikat.  Telah kita ketahui bahwa Rusia memiliki interest terhadap negara-negara yang bertetangga dengannya dengan maksud memiliki negara-negara tersebut dan menyesuaikan kebijakan yang telah disusun oleh Rusia. Selain itu Rusia merupakan negara yang memiliki wilayah yang luas, penduduk yang padat, namun tidak memiliki perbatasan alam yang dapat mengamankan negaranya dari ancaman asing yang menjadikan Rusia sebagai negara yang ekspansif dan berupaya mengembangkan wilayahnya dengan menduduki daerah-daerah baru di sekelilingnya untuk dijadikan buffer-zone. Kepentingan Rusia itulah yang menyebabkan Rusia menjadi memerah karena berpalingnya Georgia kepada dunia Barat yang merupakan potensi ancaman terhadap national security Rusia.
            Pada tahun 1990an, dua provinsi Georgia yakni Ossetia Selatan dan Abkhazia ingin memerdekakan diri dari kedaulatan Georgia dan mendapat dukungan penuh dari Rusia meskipun bukan dalam bentuk pengakuan kemerdekaan.[11] Dalam konflik intern Georgia tersebut, Rusia berperan resmi sebagai pihak yang membantu menyelesaikan masalah secara damai dan sebagai perantara antara pihak Abkhazia dan Ossetia Selatan dengan pemerintah Georgia. Namun pada prakteknya, justru Rusia secara terang-terangan membantu kedua provinsi tersebut melepaskan diri dari kedaulatan Georgia. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian kewarganegaraan dan pasport kepada warga Abkhazia oleh Rusia dengan alasan pemerintah Georgia menolak untu memberikan pasport tehadap keterlibatan Rusia tersebut tidak membawa kondsi yang lebih baik dalam upaya penyelesaian konflik internal tersebut dan mengakibatkan konflik menjadi luas dan kompleks.
            Pemerintah Georgia yang pada awalnya mendapat kecaman dari dunia karena kekerasan yang dilakukan di provinsi Ossetia Selatan dan Abkhazia, mulai kembali mendapat dukungan dari internasional karena telah menjadi korban intervensi dan aksi sepihak dari militer Rusia. Dunia mengecam bahwa meskipun terdapat ikatan sosial antara Rusia dan para penduduk Ossetia Selatan, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi suatu negara untuk melakukan intervensi terhadap masalah internal negara lain.
2.4 Intervensi atau ikut campur Rusia
Konflik antara Georgia dan Ossetia selatan itu akhirnya muncul dalam bentuk perang yang disebut perang lima hari Georgia dengan Ossetia selatan dan Russia. Perang ini terjadi sebagian besar di Kota Ossetia selatan yaitu Tskhinvali. Russia dalam pernyataannya bahwa mereka akan melindungi Ossetia dari ancaman Georgia.
Awlanya, Gerogia telah mempersiapkan pasukannya sebanyak 11.000 personil untuk melancarkan serangan ke Ossetia Selatan. Rencana awal Georgia yaitu menduduki ibukota Ossetia selatan, Tskhinvali dengan artileri, tank, dan pesawat tempur yang mereka miliki. Pada tanggal 7 Agusutus 2008, Georgia mulai mengirimkan pasukannya ke Ossetia selatan dan menduduki jalur jalur yang menghubungkan kota dengan daerah sekitarnya. Setelah mengepung Tskhinvali, pasukan Georgia masuk ke dalam menggunakan tank untuk melumpuhkan. Usaha yang dilakukan Georgia itu behasil, Tskhinvali telah jatuh ke tangan Georgia.
Esoknya, Pasukan gerogia terus bergerak kearah pangkalan milik Rusia di Ossetia Selatan. Serangan itu memicu reaksi dari Russia dengan memberi perintah kepada sisa prajurit yang ada di pangkalan miliknya bergabung dengan pasukan Ossetia selatan untuk memukul mundur Georgia yang ada di Ossetia Selatan. Pertempuran itu tidak selesai dan berlanjut hingga keesokan harinya.
Pada tanggal 9 agustus, Russia berhasil memukul mundur pasukan Georgia yang berada di Tskhinvali dan menempatkan pasukan tambahannya untuk menjaga Tskhinvali. Pada saat Russia mengirimkan pasukan bantuannya, Pasukan Georgia yang berada di sekitar Tskhinvali sempat mencoba untuk memotong bantuan itu dengan serangan.
Serangan yang dilancarkan kembali oleh Georgia akhirnya menembus pertahanan Rusia di Tskhinvali pada tanggal 10 agustus. Georgia kembali menduduki Tskhinvali dan menjaga daerah tersebut. Namun pendudukan kembali oleh Georgia tidak berlangsung lama. Russia dan Ossetia kembali menduduki Tskhinvali yang dijaga oleh tentara Georgia pada malam harinya.
Pada tanggal 11 Agustus 2008, Russia dan Ossetia terus memukul mundur pasukan Georgia hingga ke perbatasan Georgia-Ossetia selatan. Georgia akhirnya harus menarik pangkalan pasukannya dari Gori ke Tbilisi karena takut musuh akan menduduki Tbilisi, ibukota Georgia. Kemudian Russia dan Ossetia bergerak menduduki Gori di Georgia yang menghubungkan Georgia Timur dan Barat. Hal itu dimaksudkan oleh Russia untuk mencegah serangan Gerogia ke Ossetia selatan. Namun invasi itu tidak diteruskan ke Tbilisi seperti yang ditakutkan oleh Georgia[12].

2.5 Outcome
7 Agustus 2008, Georgia mempersiapkan 11.000 personil untuk melancarkan serangan ke kota Tskhinvali, ibu kota Ossetia selatan dan desa-desa di sekitarnya dengan meriam altireri, dibantu tank, dan pesawat tempur. Langkah awal untuk merebut kota Tskhinvali yaitu dengan memblokir jalur-jalur yang menghubungkan Kota dengan daerah lainnya sehingga kota Tskhinvali terisolasi. Kemudian tank-tank dan pesawat tempur digrakkan untuk menduduki kota tersebut.Upaya tersebut berhasil dilakukan oleh Georgia karena persenjataan di kota Tskhinvali tidak mencukupi untuk memukul mundur tentara Georgia.
8 Agustus 2008, Pasukan Georgia kemudian bergerak ke arah pangkalan milik perdamaian rusia di Ossetia selatan. Dengan alasan itu, rusia ikut terjun ke medan perang dan memeberi perintah kepada sisa pasukannya yang ada di pangkalan untuk bekerja sama dengan pasukan Ossetia selatan. Pertempuran kembali berjalan antara Georgia dengan pasukan rusia dan Ossetia. Pertempuran itu berlanjut hingga keesokan harinya.
9 Agustus 2008, Russia berhasil memukul mundur pasukan Ossetia selatan yang berada di kota Tskhinvali dan mengirimkan pasukan tambahan ke Tskhinvali
10 Agusuts 2008, Pasukan Georgia kembali menduduki Tskhinvali dan memukul mundur pasukan rusia dan Ossetia selatan. Namun pada hari yang sama pasukan Georgia dipukul mundur keluar dari Tskhinvali oleh Russia dan Ossetia selatan.
11 Agustus 2008, Pasukan Russia yang ada di Ossetia selatan kemudian berjalan menduduki  gori yang menghubungkan  Georgia timur dan barat. Pada saat itu jalur yang menghubungkan antara Georgia timur dan selatan sempat terputus.[13]
Rusia mengikuti langkah Georgia dengan menandatangani satu rencana perdamaian yang ditengahi oleh Perancis untuk mengakhir konflik yang sudah berlangsung sembilan hari. Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengikuti langkah presiden Georgia, Mikhail Sakasshvili dengan menandantangani gencatan senjata. Diantara enam pokok kesepakatan itu, kedua pihak setuju untuk menarik mundur pasukan mereka ke posisi sebelum terjadinya konflik ini.Tetapi berbagai laporan mengatakan kesepakatan itu mengandung satu pasal yang mengizinkan Rusia mengambil langkah-langkah pengamanan tambahan untuk sementara waktu menjelang kedatangan para pengawas gencatan senjata internasional. Menteri luar negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan kepada para wartawan,langkah-langkah pengamanan inilah yang akan diimplementasikan, "pertama dan yang utama". Para diplomat mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB diperkirakan akan memungut suara akhir pekan ini untuk satu rencana resolusi yang meresmikan kesepakatan gencatan senjata itu.[14] Pasukan Rusia sekarang sudah jauh meninggalkan perbatasan Ossetia Selatan dan masuk lebih dalam ke wilayah Georgia. Rusia dilaporkan sudah menduduki kota Khashuri di georgia tengah, sehingga Rusia praktis menguasai hampir semua kota penting dalam jaringan jalan utama yang menghubungkan wilayah Laut Hitam ke ibukota Tbilisi.
6 pokok rencana damai :
  • Tak ada lagi penggunaan kekerasan
  • Hentikan semua kegiatan militer untuk selamanya
  • Akses bebas untuk bantuan kemanusiaan
  • Pasukan Georgia kembali ke posisi-posisi penempatan permanen mereka
  • Pasukan Rusia kembali ke posisi mereka sebelum konflik
  • Perundingan international mengenai masa depan status Ossetia Selatan dan Abkhazia
Dalam konferensi pers bersama, mereka mengatakan 6 pokok rencana perdamaian sudah disetujui oleh Rusia. Kesepakatan itu termasuk satu janji untuk memulai perundingan internasional mengenai masa depan status Ossetia Selatan dan Abkhazia. Jika Georgia setuju dengan rencana ini, Medvedev mengatakan ‘jalan menuju satu normalisasi perlahan-lahan’ di Osetia Selatan mulai terbuka.[15]
BAB. 3 KESIMPULAN
Rusia sebagai negara super power yang mendominasi negara-negara eks uni soviet, merasa memiliki kewajiban terhadap negara-negara disekitarnya untuk menciptakan perdamaian. Dalam konflik Georgia- ocetia selatan, rusia lebih terkesan antusias mendukung tindakan ocetia selatan untuk memerdekakan diri dari Georgia, terbukti dengan adanya bantuan militer yang dikirim kan rusia di wilayah ocetia bahkan telah merangsek masuk kebelahan Georgia. Namun pihak Georgia juga tidak tinggal diam, untuk mengcounter tindakan yang dilakukan pasukan rusia dan ocetia, akibatnya konflik tak mampu dihindarkan. Setelah konflik berlangsung kurang lebih 9 hari, akhirnya rusia bersedia mengikuti langkah Georgia untuk menandatangani rencana perdamaian yang ditengahi perancis. Dalam rencana perjanjian terdapat 6 pokok yang harus ditaati peserta perjanjian damai. 6 pokok perjanjian tersebut adalah:
  • Tak ada lagi penggunaan kekerasan
  • Hentikan semua kegiatan militer untuk selamanya
  • Akses bebas untuk bantuan kemanusiaan
  • Pasukan Georgia kembali ke posisi-posisi penempatan permanen mereka
  • Pasukan Rusia kembali ke posisi mereka sebelum konflik
  • Perundingan international mengenai masa depan status Ossetia Selatan dan Abkhazia





DAFTAR PUSTAKA
http://www.pkc-indonesia.com/index.php/sejarah/konga-indonesia-di-wilayah-eropa/georgia
http://republik-tawon.blogspot.com/2012/07/perang-5-hari-yang-membakar-ossetia.html
http://enkadiansari.blogspot.com/2012/05/georgia-ossetia-selatan-menakar-peran.html
http://www.jawapos.com/georgia-ocetiaselatan/
http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/08/080816_russiasignpeaceaccord.shtml



[2] http://forum.detik.com/analisa-nya-dong-nunggu-iran-perang-lama-rusia-udah-nyerang-t53416.html
[4] Blog Alvonzsusisno’sdiaksespadatanggal 5 Nopember 2012
[6] http://id.wp:ikipedia.org/wiki/Georgia
[7] http://www.pkc-indonesia.com/index.php/sejarah/konga-indonesia-di-wilayah-eropa/georgia
[8] Diakses dari http://republik-tawon.blogspot.com/2012/07/perang-5-hari-yang-membakar-ossetia.html
[9]Diaksesdari http://enkadiansari.blogspot.com/2012/05/georgia-ossetia-selatan-menakar-peran.html
[10] Ibid.
[11] http://www.jawapos.com/georgia-ocetiaselatan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar